EKBIS.CO, JAKARTA — Ekonom senior INDEF Dradjad H. Wibowo mengingatkan jika indepensi dan pengawasan otoritas moneter dan keuangan dipangkas, maka Indonesia akan kembali ke zaman jahiliyah.
Pernyataan Dradjad ini disampaikan menanggapi rencana dikeluarkannya Perppu Reformasi Keuangan. Menurut Dradjad, dalam perppu itu ada rencana independensi otoritas moneter dan pengawasan jasa keuangan yang akan dipangkas.
“Ada informasi, dengan perppu ini maka gubernur BI akan dengan mudah diberhentikan. Begitu juga Komisioner OJK. Eksekutif akan bisa masuk ke kebijakan moneter,” kata Dradjad dalam diskusi online, Selasa (1/9).
Dijelaskan Dradjad, Indonesia sudah 20 tahun masuk ke wilayah demokrasi. Semua negara maju yang demokratis, menjunjung tinggi independensi otoritas moneter. Independensi diberikan agar semua pelaku bisnis, usaha, investor confident bahwa kebijakan moneter dan keuangan akan diambil secara objektif. Kebijakan akan diambil berdasarkan analisis valid yang ilmiah.
Indepensi ini penting supaya para pelaku bisnis ini tidak melihat kebijakan monter dan keuangan sebagai kebijakan karena intervensi politik. “Keuangan itu ibarat aliran darah. Kalau aliran darah keracunan politik, maka tubuhnya akan sakit,” ungkap ketua Dewan Pakar PAN tersebut.
Pemangkasan independensi ini seperti membalik sejarah ke zaman jahiliyah moneter dan keuangan. "Di mana saat itu BI tidak independen, sehingga banyak krisis dan skandal seperti kasus BLBI dan krisis perbankan”, papar Dradjad.
Diingatkan Dradjad, jangan berilusi, seolah-olah kalau independensi dipangkas dan kekuasaan diberikan ke Menteri Keuangan, ekonomi akan lebih baik. “Kalau demikian logikanya, kenapa negara-negara maju tidak mencabut independensi itu,” ungkapnya. Harus dilihat bahwa independensi otoritas moneter dan pengawasan keuangan merupakan praktik terbaik internasional.
Secara umum, Perppu Reformasi Keuangan, menurut Dradjad, tidak logis, tidak jelas efektifitasnya, bahkan membahayakan stabilitas moneter dan keuangan. “Ada tujuh alasannya,” ungkap Dradjad.
Pertama, tidak ada satu negara pun yang merombak sistem moneter dan keuangannya di tengah krisis pandemi. Dijelaskan Dradjad, Malaysia, Singapura, Australia, Selandia Baru, Kanada, Korsel, China, Taiwan, AS tetap tidak mengubah.
“Yang merombak adalah Inggris. Tapi dia tidak merombak di tengah pandemi, tapi merombaknya pada 2013. Setelah krisis eropa selesai,” papar Dradjad. Jadi aneh jika Indonesia mau mengubah struktur otoritas moneternya di tengah pandemi.
Kedua, negara yang ekonominya anjlok lebih jelek dari Indonesia pun tidak melakukan itu. Dicontohkannya, Inggris di kuartal keduanya pertumbuhan ekonominya sampai minus 21,7 persen, AS (-9,5 persen), Singapura (-13,2 persen), Malaysia (-17,1 persen) pun tidak melakukan perombakan.
"Pemerintah membanggakan anjloknya ekonomi lebih baik dibandingkan negara lain. Jika begitu, buat apa bongkar pasang?” ungkap Dradjad.
Ketiga, perombakan itu bukan praktik terbaik internasional (PTI). Di tengah pandemi, PTI-nya adalah mengendalikan pandeminya dan memberikan stimulus ekonomi yang masif. “Di kita istilahnya PEN, makanya saya tidak pernah mendebat soal PEN,” jelas Dradjad.
Dradjad mengibaratkan bongkar pasang ini, seperti orang menghadapi badai. Ketika badai datang, orang yang berfikir logis tidak akan membongkar rumahnya. Pada saat badai membongkar rumah, bisa-bisa rumahnya tersapu habis. “Jadi rumah moneter dan keuangan kita bisa tersapu badai covid dan krisis ekonomi yang mengikutinya,” kata Dradjad menganalogikan.
Keempat, kalau pemerintah jadi mengeluarkan perppu ini, akan memberikan kesan pemerintah bingung dan panik. Ini akan memberikan efek yang jelek. “Pasar akan cepat membaca dan efek psikologisnya akan sangat merusak stabilitas moneter”, jelas dia.
Kelima, jika melihat rancangan awal dari perppu ini, desain independensi dan pengawasan otoritas dan moneter akan dipangkas. Padahal independensi otoritas moneter dan pengawasan keuangan itu praktek terbaik internasional.
Keenam, bersama dengan UU No 2 tahun 2020, perppu ini berpotensi menciptakan diktaktor fiskal, moneter, dan keuangan, tanpa mekanisme kontrol yang maksimal dari legislatif dan aparat hukum.
Ketujuh, di tengah pandemi, untuk mencegah krisis moneter, keuangan dan perbankan, bukan Perppu Reformasi Keuangan yang dibutuhkan. Solusinya adalah penguatan lembaga yang ada di Stabilisasi Sistem Keuangan (SSK). Misalnya, LPS, Perampingan proses penanganan bank yang bermasalah atau gagal, dan yang krusial adalah memastikan dananya tersedia.
Masalahnya, sejak 2005 penerimaan negara, khususnya pajak, sering tdak memenuhi target. Negara juga tidak memiliki tabungan fiskal. “Karena kinerja penerimaan negara tidak maksimal, ketika terjadi krisis karena pandemi, semuanya lalu mau ditabrak,” ungkapnya.