EKBIS.CO, JAKARTA -- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akan melakukan pemeriksaan khusus mengenai pemanfaatan anggaran untuk penanganan Covid-19. Pelaksanaan audit ini menyusul hasil penilaian risiko yang telah dilakukan lebih dulu. Dari penilaian tersebut, didapati temuan sejumlah potensi masalah yang muncul dalam pelaksanaan penanganan Covid-19, baik dari sisi kesehatan atau pemulihan ekonomi.
Ketua BPK Agung Firman Sampurna menyebutkan bahwa audit ini akan diadakan untuk pelaksanaan anggaran 2020. Selanjutnya pada 2021, BPK akan kembali mengadakan penilaian risiko untuk menentukan apakah audit serupa akan digelar lagi atau sudah cukup. Lantas apa bedanya audit BPK yang rutin dilakukan dengan audit khusus mengenai penanganan Covid-19 ini?
Agung mengungkapkan, audit BPK biasanya dilakukan terhadap entitas atau program tertentu. Namun kali ini, audit dilakukan secara menyeluruh terhadap seluruh jajaran pemerintahan, baik pusat dan daerah, serta instansi lain yang ikut terlibat dalam penanganan Covid-19. Instansi yang dimaksud, termasuk BUMN, BI, OJK, dan LPS.
"Ini adalah pertama kali dilakukan pemeriksaan selain pemeriksaan laporan keuangan pemerintah pusat yang biasanya dilakukan setiap tahun dalam skala yang besar dan masif," kata Agung dalam keterangan pers di Kantor Presiden, Selasa (8/9).
Selain itu, audit khusus terhadap penanganan Covid-19 ini juga melibatkan seluruh auditorat utama keuangan negara (AKN), dari I hingga VII. BPK juga telah mengumpulkan seluruh data dan informasi dari berbagai instansi yang ikut menjalankan program penanganan Covid-19.
Mengenai aspek-aspek yang diperiksa, BPK akan fokus pada tiga program utama penanganan Covid-19 yakni penanganan kesehatan, penyaluran jaring pengaman sosial atau bantuan sosial, dan program pemulihan ekonomi nasioal seperti subsidi gaji bagi pekerja.
"Intinya semua itu, mulai dari perencanaannya, pelaksanaan, dan pengawasan. Namun detailnya itu bagian dari strategi pemeriksaan, tak bisa kami sampaikan," kata Agung.
Pada kesempatan yang berbeda, Agung juga sempat menyebutkan bahwa krisis ekonomi dan kesehatan yang terjadi saat ini rawan untuk ditunggangi pihak-pihak yang berkepentingan. Menurutnya, ada bukti empiris menunjukkan krisis adalah sasaran empuk bagi oknum berkepentingan untuk melalukan kecurangan.
"Dengan memanfaatkan situasi kedaruratan (Covid-19). Memanfaatkan celah dalam regulasi dan penyalahgunaan kekuasaan," kata Agung.
Agung mengakui bahwa pemerintah memiliki kewenangan yang luas di bidang keuangan negara untuk megambil langkah extraordinary dalam penanganan Covid-19 ini. Hal ini memang tertuang dalam Perppu nomo 1 tahun 2020 Kebijakan Keuangan dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19, yang kemudian disahkan sebagai Undang-Undang.
"Namun, BPK punya mandat konstitusional untuk mengambil sikap terkait risiko yang senantiasa timbul dalam setiap krisis," kata Agung.
Audit pun segera dilakukan oleh BPK. Salah satu potensi masalah yang disorot adalah risiko penyelewangan dalam penyaluran jaring pengaman sosial alias bansos. Kendati bersifat darurat dan tujuannya cukup jelas, yakni menolong masyarakat yang ekonominya terdampak, namun BPK melihat tata kelolanya berpotensi memunculkan masalah.
"Masalah yang timbul meretas dari ketidakhandalan data, kurang transparannya aparatur di daerah yang ditugaskan untuk melakukan pendataan dan distribusi, hingga ragam bansos yang variatif dan diusung oleh kementerian/lembaga yang berbeda namun dengan tujuan yang kurang lebih sama," ujar Agung.
Menurutnya, beragamnya jenis bansos yang disalurkan pemerintah berpotensi memunculkan tumpang tindih dalam pelaksanaannya. Baik terkait penerima atau pihak-pihak yang bertugas menyalurkan bantuan tersebut.
"Penanganan kesehatan dan jaring pengaman sosial merupakan tahapan krusial yang dibutuhkan untuk bertahan dan pulih. Karenanya harus dikelola dengan cermat tetapi juga tetap proaktif," kata Agung.