EKBIS.CO, JAKARTA -- Masalah keuangan di Jiwasraya ibarat kanker yang kalau tidak diatasi bisa menjalar ke seluruh tubuh. Ekonom senior Faisal Basri menilai Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sulit untuk melakukan kewenangannya karena persoalan di tubuh Jiwasraya telah berlangsung selama hampir satu dekade, bahkan sebelum OJK berdiri.
Menurut Faisal sejauh ini OJK hanya bisa mengawasi dan tidak bisa mengganti direksi atau melakukan hal-hal yang sifatnya pembenahan di sektor internal perusahaan asuransi tersebut. "Ini kan sudah hampir satu dekade, jauh sebelum OJK," kata dia dalam talkshow digital 'Seruput Kopi' baru-baru ini.
OJK memang dinilai tidak melaksanakan fungsinya secara maksimal, tapi semua keputusan seharusnya berada di bawah pemegang saham. Saat ini Pemerintah berencana melakukan restrukturisasi portofolio pemegang polis lewat PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia sebesar Rp 24,2 triliun.
"Ini bukan OJK yang menyuntikkan uang, OJK kan regulator. Ini bukti tidak semata-mata kelalaian OJK. OJK telah memberikan rekomendasi untuk membenahi ini," kata Faisal. OJK dinilai sudah menjalankan tugasnya terhadap Jiwasraya.
Sebelumnya diberitakan, langkah restrukturisasi portofolio pemegang polis Jiwasraya akan dilakukan dengan memindahkannya ke perusahaan baru bernama IFG Life.
Direktur Bisnis PBUI Pantro Pander Silitonga menjelaskan, dengan restrukturisasi ini, produk-produk yang tadinya tidak sehat akan diubah menjadi lebih sehat. "Dilakukan juga pemotongan manfaat supaya liabilitasnya berkurang. Sesudah direstrukturisasi akan dimigrasikan ke IFG Life," kata Pantro di Jakarta, Rabu (9/9).
Pantro menuturkan, langkah restrukturisasi perlu dilakukan secepatnya agar liabilitas tidak membesar dan nilai aset tidak berkurang. Semakin ditundanya restrukturisasi, akan berdampak terhadap equity gap yang semakin tinggi. Tanpa restrukturisasi, menurut Pantro, equity gap menjadi Rp 50,9 triliun.
Untuk itu, dalam menyelamatkan pemegang polis Jiwasraya, PBUI rencananya akan merestrukturisasi hingga 100 persen dan haircut atau pengurangan manfaat hingga 40 persen. Dengan skema ini, equity gap hanya mencapai Rp 24,2 triliun.