EKBIS.CO, JAKARTA -- Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengatakan upaya migrasi ke kompor listrik bila dilakukan masif dapat menekan impor LPG. Artinya pemerintah bisa menghemat APBN.
“Migrasi itu akan menghemat dana APBN dalam jumlah besar, yang selama ini untuk membiayai impor dan subsidi LPG. Lebih dari 70 persen kebutuhan LPG di dalam negeri harus diimpor, sehingga selain membebani APBN, juga ikut memperbesar defisit neraca perdagangan migas dalam beberapa tahun terakhir ini,” kata Fahmy, Jumat (10/9).
Lebih lanjut ia menjelaskan, subsidi terhadap gas melon cenderung meningkat pada setiap tahunnya. Pada 2019 subsidi gas melon kembali naik hingga mencapai sebanyak 6,97 juta metrikton atau senilai Rp 75,22 triliun. Subsidi itu lebih besar ketimbang subsidi listrik yang mencapai Rp 62,2 triliun pada periode yang sama.
Migrasi dari kompor gas ke kompor listrik induksi akan berhasil digunakan seluruh lapisan masyarakat, termasuk pelanggan listrik 450 VA, jika kompor listrik yang digunakan berdaya listrik rendah, maksimal 150 watt. Dengan penggunaan daya listrik yang rendah, biaya kompor induksi jatuhnya bisa lebih murah ketimbang biaya penggunaan kompor LPG 3 Kg.
Data menunjukkan biaya untuk memasak 10 liter air menggunakan kompor LPG sebesar Rp 2.055, sedangkan biaya untuk kompor induksi hanya Rp 1.426. Migrasi secara masif juga dapat mengatasi potensi kelebihan pasokan (over supply) listrik PLN pasca selesainya proyek listrik 35.000 MW.
Selain itu, migrasi ke kompor listrik juga akan memicu berkembangnya industri kompor listrik induksi berdaya listrik rendah di Indonesia.
Penggunaan kompor listrik secara luas memang lebih ramah lingkungan daripada kompor gas. Namun, PLN juga harus melakukan migrasi penggunaan energi primer dari energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT), yang lebih ramah lingkungan. Tanpa peningkatan penggunaan EBT dalam pembangkit listrik PLN, penggunaan kompor listrik tidak akan memberikan kontribusi significant terhadap pengurangan pencemaran udara.