EKBIS.CO, JAKARTA -- Pola konsumsi pangan olahan masyarakat Indonesia disebut cenderung meningkat. Bahkan, sepertiga pengeluaran masyarakat digunakan untuk pangan olahan.
Head of Research CIPS, Felippa Amanta mengatakan, isu keamanan pangan menjadi penting lantaran telah terjadi perubahan konsumsi makanan ke produk olahan atau ultra-olahan. Data Kementerian Pertanian (Kementan) menyebut, antara 2017 dan 2019, konsumsi makanan olahan meningkat 9,63 persen.
Sementara itu, data lain menyebutkan 30 persen pengeluaran bulanan untuk makanan didapatkan dari makanan dan minuman olahan. Peningkatan itu disertai dengan semakin banyaknya konsumen, terutama populasi urban yang memilih untuk membeli makanan dan jasa layanan pesan antar makanan lewat aplikasi daring.
Ia melanjutkan, di seluruh Asia Tenggara, gross merchandise value (GMV) diketahui melonjak 15 kali dari tahun 2015 ke 2019 sehingga nilainya mencapai 6 miliar dolar AS. Data riset Nielsen pun menyebut, di Indonesia jasa antar makanan daring diperkirakan tumbuh 11,5 persen setiap tahun antara 2020 hingga 2024.
Seiring masih adanya pandemi Covid-19, Felippa mengatakan jasa layanan pesan antar tentunya akan menjadi salah satu pilihan utama konsumen. Sebab, konsumen tak perlu keluar rumah dan bebas memilih makanan yang ingin dikonsumsi.
"Covid-19 mendorong layanan penggunaan layanan pesan antar makanan daring. Seperti lewat marketplace, aplikasi, restoran ke konsumen, media sosial, dan aplikasi. Karena itu butuh perhatian khusus untuk keamanan pangan," kata Felippa.
Sayangnya, kata dia, keamanan pangan di Indonesia masih belum ideal. Ia menuturkan, fakta-fakta soal keamanan pangan belum ada yang akurat karena kasusnya cenderung belum terlaporkan. Itu dikarenakan masyarakat Indonesia yang masih belum banyak melapor.