EKBIS.CO, KUALA LUMPUR -- Suara Jum tampak tersengal-sengal di sambungan telepon. Intonasinya semakin panik. Di sela-sela isak tangisnya, ia menceritakan, dirinya kini terjebak di perkebunan Malaysia yang dikelola oleh Felda milik pemerintah, salah satu perusahaan minyak terbesar di dunia.
Bosnya, kata Jum, menyita dan kemudian menghilangkan paspor Indonesianya. Kondisi itu membuat Jum rentan ditangkap oleh otoritas Malaysia. Malam demi malam, dia terpaksa bersembunyi dari pihak berwenang, tidur di lantai hutan, terkena angin dan hujan. Ketakutan terbesarnya, harimau yang berkeliaran.
Sementara itu, Jum mengatakan, supervisornya meminta dia untuk tetap bekerja, merawat buah kelapa sawit berwarna jingga kemerahan yang kini sudah masuk ke rantai pasok perusahaan makanan dan kosmetik paling ikonik di dunia. Sebut saja Unilever, L'oreal, Nestle dan Procter & Gamble.
Dengan suara seraknya, Jum berkata, dirinya bukan lagi manusia bebas. "Saya sangat ingin melihat ibu dan ayah saya. Saya ingin pulang ke rumah!" tuturnya, seperti dilansir di Associated Press (AP) News, Kamis (24/9).
Investigasi AP menemukan, banyak orang seperti Jum di Malaysia maupun negara tetangga Indonesia lain. Ia menjadi angkatan kerja yang tidak terlihat dari jutaan pekerja di beberapa sudut termiskin di Asia.
Banyak di antara mereka mengalami berbagai bentuk eksploitasi. Pelanggaran paling serius terjadi, termasuk mempekerjakan anak di bawah umur, perbudakan hingga tuduhan pemerkosaan. Tidak terkecuali di industri kelapa sawit.
Bersama-sama, Indonesia dengan Malaysia menghasilkan sekitar 85 persen dari perkiraan pasokan minyak dunia yang senilai 65 miliar dolar AS.
Minyak kelapa sawit menjadi olahan komoditas yang tidak mungkin dihindari. Sering kali, ia disamarkan pada label sebagai bahan yang terdaftar dengan lebih dari 200 sebutan, dapat ditemukan di sekitar setengah produk di rak supermarket dan sebagian besar merek kosmetik.
Minyak kelapa sawit juga ditemukan di cat, kayu lapis, pestisida dan pil. Bahan ini bahkan ada dalam pakan ternak, biofuel hingga cairan pembersih tangan.
AP mewawancarai lebih dari 130 pekerja dan mantan pekerja 24 perusahaan kelapa sawit yang berasal dari delapan negara dan bekerja di perkebunan kelapa sawit yang sebagian besar di Malaysia dan Indonesia.
Hampir semua dari mereka memiliki keluhan tentang perlakukan perusahaan. Beberapa menyebutkan, telah ditipu, diancam, ditahan di luar keinginan mereka atau dipaksa untuk melunasi hutang yang tidak dapat dilunasi. Yang lainnya mengatakan, mereka rutin diganggu oleh pihak berwenang, disapu saat penggerebekan dan ditahan di fasilitas pemerintah.
Mereka termasuk anggota minoritas Rohingya yang telah lama dianiaya di Myanmar, yang melarikan diri dari ‘pembersihan’ etnis di tanah air. Mereka kini untuk dijual ke industri minyak sawit.
Nelayan yang melarikan diri dari perbudakan selama bertahun-tahun di atas kapal juga menjadi bagian di antaranya. Mereka datang ke darat untuk mencari bantuan, namun malah akhirnya diperdagangkan ke perkebunan, bahkan terkadang dengan keterlibatan polisi.
Merek global hingga bank besar
AP mengompilasikan berbagai data terbaru untuk menghubungkan perusahaan tempat mereka bekerja dengan rantai pasoknya. Beberapa perusahaan besar tercatat di dalamnya, mulai dari pembuat biskuit Oreo, pembersih Lysol dan cemilan coklat Hershey.
Keterkaitan itu ditemukan AP dengan menggunakan data yang diterbitkan dari produsen, pedagang dan pembeli minyak nabati yang paling banyak dikonsumsi di dunia, serta catatan Bea Cukai Amerika Serikat (AS).
Masalah ketenagakerjaan ini juga melibatkan banyak bank besar. Raksasa lembaga keuangan Barat seperti Deutsche Bank, BNY Mellon, Citigroup, HSBC dan Vanguard Group terus menyokong industri kelapa sawit yang melonjak dari hanya 5 juta ton pada 1992 menjadi 72 juta saat ini, menurut Departemen Pertanian Amerika Serikat.
Terkadang, mereka berinvestasi secara langsung. Tapi, semakin banyak di antara mereka menggunakan pihak ketiga seperti Maybank yang berbasis di Malaysia dan merupakan salah satu pemodal minyak sawit terbesar di dunia. Mereka tidak hanya memberikan modal kepada para petani, juga memproses gaji perkebunan.
Pakar kejahatan keuangan mengatakan, dalam industri yang penuh dengan masalah, bank kerap melakukan pemotongan gaji sewenang-wenang dan tidak konsisten. Langkah ini dapat dinilai sebagai indikator potensial kerja paksa.
Gemma Tillack dari Rainforest Action Network, yang mengungkap pelanggaran ketenagakerjaan di perkebunan kelapa sawit, mengatakan, ini telah menjadi rahasia tersembunyi industri selama beberapa dekade. "Uang berhenti di bank. Pendanaan merekalah yang memungkinkan sistem eksploitasi ini," katanya.