EKBIS.CO, JAKARTA -- Berbagai stimulus fiskal dan moneter telah diluncurkan pemerintah dan regulator Bank Indonesia dalam rangka pemulihan ekonomi nasional. Namun demikian, Bank Indonesia mengakui dampaknya belum signifikan.
"Berbagai stimulus telah kita keluarkan, namun berbagai upaya yang kita lakukan belum terlalu kelihatan hasilnya," katanya dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR RI Laporan Semester I Kinerja Ekonomi Bank Indonesia, Senin (28/9).
Berbagai kebijakan yang BI lakukan termasuk di antaranya suku penurunan suku bunga kebijakan menjadi empat persen, menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, pelonggaran moneter, dan penyediaan pendanaan dan berbagi beban untuk pembiayaan APBN.
Perry mengatakan penyediaan pendanaan tersebut dilakukan agar pemerintah fokus pada realisasi dari program pemulihan ekonomi. Sesuai dengan kesepakatan dengan pemerintah, BI bisa melakukan pendanaan dengan pembelian SBN di pasar perdana dan secara langsung.
Sejak kesepakatan bersama Kementerian Keuangan 16 April 2020 dan 7 Juli 2020, BI telah melakukan pembelian SBN jangka panjang di pasar perdana sebesar Rp 234,65 triliun. Baik melalui mekanisme pasar sebesar Rp 51,7 triliun maupun langsung sebesar Rp 183,48 triliun.
"Porsi kepemilikan oleh BI per 25 September 2020 sebesar 640,60 triliun, jumlah ini termasuk pembelian di pasar sekunder untuk stabilisasi nilai tukar rupiah sebesar Rp 166,2 triliun," katanya.
Selain itu, BI juga menyiapkan pendanaan bagi Lembaga Penjamin Simpanan sebagai antisipasi dan mempercepat digitalisasi sistem pembayaran. Perry mengatakan BI berkomitmen untuk mengerahkan segala instrumen kebijakan untuk bisa meningkatkan kembali perekonomian.
Ia juga menyebut perbaikan ekonomi sudah mulai terlihat di kuartal III 2020. Baik dari sisi mobilitas manusia, survei penjualan eceran, indeks PMI manufaktur Indonesia, ekspor nonmigas dan lainnya.
"Kita lihat ada perbaikan meski perbaikan itu berjalan secara perlahan dan bertahap," katanya.
Ini juga merupakan dampak dari beberapa stimulus baik fiskal maupun moneter. Setidaknya langkah-langkah yang telah dilakukan bisa menghindari dari penurunan lebih tajam.
Perry menambahkan, lambatnya perbaikan juga terjadi karena masih rendahnya kegiatan dunia usaha yang ditandai dengan lemahnya permintaan kredit. Saat ini, likuiditas perbankan sangat longgar sehingga bukan alasan rendahnya penyaluran kredit ke sektor riil.
Menurut data terbaru, BI telah melakukan pelonggaran likuiditas atau quantitative easing (QE) sebesar Rp 242,2 triliun dari Mei hingga September. Jumlah tersebut termasuk dalam bentuk penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) Rupiah sebesar Rp 102 triliun. Sementara QE per Januari-April sebesar Rp 419,9 triliun.