Rabu 07 Oct 2020 15:02 WIB

BPKN Minta Kemenpar Terbitkan Panduan Normal Baru Pariwisata

Kontribusi sektor pariwisata terhadap pertumbuhan ekonomi 2019 sebesar 4,80 persen.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Nidia Zuraya
Sejumlah pengunjung bermain wahana air di Waterpark Taman Ombak Karawang, Karawang, Jawa Barat, Ahad (4/10/2020). Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menyiapkan strategi penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PEN) di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif .
Foto: ANTARA/M Ibnu Chazar
Sejumlah pengunjung bermain wahana air di Waterpark Taman Ombak Karawang, Karawang, Jawa Barat, Ahad (4/10/2020). Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menyiapkan strategi penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PEN) di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif .

EKBIS.CO, JAKARTA -- Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menilai, pariwisata merupakan salah satu sektor penting bagi perekonomian Indonesia. Maka perlu dijaga keberlangsungannya di tengah pandemi ini.

Berdasarkan data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI, kontribusi sektor pariwisata terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2019 sebesar 4,80 persen atau meningkat 0,30 poin dari tahun sebelumnnya. Terjadinya pandemi Covid-19 semenjak awal 2020 ini, dinilai sangat memengaruhi rantai pasok pariwisata dalam negeri.

Baca Juga

Sektor pariwisata menjadi salah satu sektor yang paling terkena dampak parah akibat penyebaran virus corona. Ditambah lagi dengan langkah pembatasan sosial yang dilakukan pemerintah membuat aktivitas pariwisata menjadi lumpuh.

Pemerintah telah melakukan tiga tahapan dalam penanganan covid-19 yaitu, tanggap darurat, pemulihan dan normalisasi. Dalam pelaksanaan tanggap darurat, industri pariwisata telah merasakan pukulan pandemi Covid-19 sebelum pemerintah menerapkan PSBB pada 1 April lalu. Melalui PP Nomor 21 Tahun 2020, kondisi pada tahapan pemulihan, menurut data Kemenparekraf pada 7 April 2020, sebanyak 10.946 usaha pariwisata telah terdampak dan 30.421 tenaga kerja wisata kehilangan pekerjaan.

Selanjutnya, pada kondisi tanggap darurat, BPS mencatat, tingkat hunian hotel berbintang pada Mei 2020 sebesar 14,45 persen, jauh lebih kecil dibandingkan 2019 yang sebesar 43,53 persen. Sementara PHRI mencatat 2.000 hotel dan 8.000 restoran berhenti beroperasi selama masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

"Dalam dua kali FGD (Forum Group Discussion) lalu yang diselenggarakan oleh BPKN, beberapa poin kesimpulan menjadi catatan BPKN. Di antaranya perlu dibangun sinergi antara pemerintah pusat dan daerah, dengan menerbitkan panduan tata kehidupan normal baru menerapkan protokol CHSE (Cleanliness, Health, Safety, Environment Sustainability) secara memadai," ujar Ketua BPKN Rizal E Halim dalam webinar pada Rabu (7/10).

Ia menambahkan, peran aktif pemerintah daerah pun diperlukan demi menjaga kelangsungan pelaku bisnis pariwisata. Salah satunya dengan memberikan insentif kepada mereka, dan perlu adanya self assesment risiko demi memastikan pekerja usaha pariwisata tidak terjangkit atau bebas dari Covid-19.

Pemanfaatan ekonomi digital dalam menghadapi dampak covid-19, kata dia, memang menjadi solusi pintar. Selain memberikan kenyamanan dan kepastian hukum bagi konsumen dalam bertransaksi juga menjadi langkah bagi pelaku usaha pariwisata untuk bisa bertahan dan bangkit, tentu tanpa mengindahkan jaminan keselamatan konsumen, khususnya konsumen rentan.

Rizal menambahkan, Catatan penting BPKN serta alternatif solusi atas permasalahan di sektor pariwisata khususnya dalam masa pandemi Covid-19. Di antaranya Pemerintah Daerah perlu meningkatkan pengawasan penerapan protokol kesehatan khususnya di lokasi wisata, tidak hanya kepada pelaku usaha wisata namun juga penegakan kedisiplinan konsumen dalam berwisata.

Kedua, Pemerintah Pusat berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk mempromosikan penerapan protokol CHSE kepada pelaku usaha jasa pariwisata.

Ketiga, Pemerintah Daerah perlu berperan aktif dalam menjaga kelangsungan pelaku bisnis pariwisata, salah satunya dengan memberi insentif kepada pelaku usaha jasa pariwisata (keringanan pajak, retribusi daerah, dsb.

Keempat, selain penerapan protokol kesehatan oleh pelaku usaha pariwisata, Pemerintah Pusat perlu bekerjasama dengan pemerintah daerah dalam membuat panduan penerapan berwisata sehat yang meliputi kegiatan wisata bagi konsumen.

Kelima, Pemerintah Daerah melakukan edukasi kepada konsumen agar menggunakan barang dan/atau jasa yang telah memiliki protokol CHSE, serta sosialisasi kepada pelaku usaha jasa pariwisata untuk hanya melayani yang taat dengan prosedur kesehatan.

Keenam, pemerintah harus memastikan bahwa konsumen mendapat informasi yang jelas terkait zona daerah yang aman, hotel atau tempat wisata mana yang sudah memiliki CHSE serta jaminan kompensasi jika konsumen mengalami kerugian termasuk akses terhadap pengaduan konsumen.

Ketujuh, mendorong pelaku usaha untuk meningkatkan awareness wisatawan melalui pemanfaatan ekonomi digital. Lalu kedelapan, berdasarkan indikator kepariwisataan baru misalnya melalui labelling, sanksi, penghargaan, standar dan sebagainya.

Lalu kesembilan, kebijakan pemerintah harus memiliki standar yang sama antar daerah. “Pelaku usaha pariwisata sudah peduli khususnya terkait dengan protokol kesehatan, SOP kesehatan yang  diterapkan menjadi bentuk jaminan kesehatan, keamanan dan keselamatan bagi konsumen. Upaya-upaya yang  sudah dilakukan oleh pelaku usaha tentu harus didukung kepercayaan, karena kepercayaan diri dalam bertransaksi di sektor pariwisata perlu dibangun baik oleh Pemerintah dan Pelaku Usaha serta konsumen sendiri," jelas dia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement