EKBIS.CO, JAKARTA -- Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan dasar pemikiran penggunaan Sistem Uji Kelayakan dalam Undang-Undang Cipta Kerja untuk mengalihkan beban kerja Komisi Penilai Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) yang overload.
"Kemudian ada lagi di luar, pertanyaan soal Komisi Penilai Amdal. Kawan-kawan, sebagai informasi, bahwa dalam satu tahun itu kira-kira dokumen amdal yang harus dianalisis itu bisa sampai 1.500. Oleh karena itu, kita melakukan adjustment terhadap Komisi Penilai Amdal," kata Siti konferensi pers bersama Penjelasan UU Cipta Kerja di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Rabu (8/10).
Ia menegaskan dasar pemikiran penggantian sistem Komisi Penilaian Amdal tersebut berdasarkan evaluasi dan praktik empirik yang ada selama ini diketahui menyulitkan sehingga mungkin yang dapat dipahami pihak usaha prosesnya lama.
Oleh karena itu, disesuaikan lah dengan penerapan Sistem Uji Kelayakan oleh lembaga uji kelayakan sehingga memunculkan standar sistem. Konsep pada Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK), uji kelayakan dilakukan oleh lembaga uji kelayakan yang dibentuk oleh pemerintah pusat.
Dalam melaksanakan tugasnya lembaga uji kelayakan tersebut, kata Siti, membentuk tim uji kelayakan untuk membantu gubernur, bupati/wali kota melaksanakan kewenangan menerbitkan persetujuan lingkungan.
Dengan mekanisme itu, menurut dia, dapat dipastikan uji kelayakan dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) dan terstandardisasi. Jumlah tim uji kelayakan yang membantu gubernur, bupati/wali kota disesuaikan dengan beban penilaian amdal di masing-masing daerah sehingga keterlambatan penilaian amdal akibat tumpukan beban dapat dihindari.
"Tim uji kelayakan ini nanti para ahli akan banyak terlibat. Kepadanya sebagai anggota harus memiliki sertifikat agar dokumen amdal yang digunakan dapat dipertanggungjawabkan secara saintifik ilmiah," ujarnya.
Sebelumnya, dia juga menjelaskan konsep Perizinan Berusaha dalam UUCK berbasis pada model Risk Based Approach (RBA) yang pada dasarnya sudah sejalan dengan dokumen lingkungan (amdal, upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup/UKL-UPL, dan surat pernyataan pengelolaan lingkungan/SPPL).
Konsep RBA yang dirumuskan dalam UU tersebut hanya diperuntukkan bagi pelaku usaha. Di sisi lain, pengelolaan dampak lingkungan juga diwajibkan bagi kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah yang pengaturannya diusulkan dalam bentuk persetujuan pemerintah pusat.
Selain itu, dalam UUCK perizinan berusaha, kata Siti, akan memuat persyaratan lingkungan yang dihasilkan dari proses dokumen lingkungan. Persyaratan dan kewajiban lingkungan dapat dilaksanakan enforce dalam penegakan.
Fungsi persetujuan lingkungan adalah sebagai dasar pertimbangan pengambilan keputusan penyelenggaraan usaha dan atau kegiatan (izin usaha/perizinan berusaha) dan komitmen pengelolaan lingkungan pelaku usaha dapat diawasi dan ditegakkan hukum (termuat dalam perizinan berusaha).
Dalam hal ini prosesnya melalui sistem Online Single Submition (OSS) sehingga dapat dipastikan bahwa ketentuan “sebagai prasyarat dan termuat” dalam perizinan berusaha akan dapat dilaksanakan.