EKBIS.CO, JAKARTA -- Persatuan Insinyur Indonesia (PII) mengusulkan perlunya platform digital berupa big data insinyur sedunia sebagai sarana kolaborasi para insinyur menghadapi persoalan global. Dalam persoalan pandemi Covid-19 sekarang ini, platform tersebut dibutuhkan untuk kolaborasi para bioengineer dunia dalam percepatan pembuatan vaksin.
“Dalam situasi pandemi seperti sekarang ini, yang dibutuhkan bukanlah kompetisi bioengineer antar negara, tetapi coopetition yaitu cooperation atau kerjasama antara para kompetitor dalam riset untuk menghasilkan vaksin segera,” kata Ketua Umum PII yang juga Presiden Association of Engineering Education Southeast and East Asia and the Pacific (AEESEAP), Heru Dewanto dalam siaran persnya kepada Republika, Ahad (18/10).
Heru mengatakan hal itu dalam workshop virtual dengan tema ‘Enhancing Engineering Value Chain’ yang digelar 14-15 Oktober 2020 lalu. Workshop virtual AEESEAP 2020 ini diikuti oleh masyarakat khususnya yang terlibat dalam sektor teknik/keinsinyuran, seperti pengajar perguruan tinggi, mahasiswa, pelaksana program profesi insinyur, sarjana teknik, Insinyur dan insinyur profesional dari Indonesia dan negara-negara anggota AEESEAP di Asia dan Pasifik serta kalangan industri.
Mendikbud RI Nadiem Makarim, Presiden Insinyur se Dunia Gong Ke, Presiden insinyur se Asia Pasifik Huwang Wei, Direktur Unesco Asia Pasifik Shahnaz Khan turut hadir memberikan presentasi. Juga Perwakilan ABET, JABEE, dan APEC agreeement
Heru menjelaskan, platform kolaborasi ini bisa dijadikan para ahli bioengineering atau insinyur teknik hayati sedunia dalam pertukaran informasi genom virus Sars cov-2 di tiap negara dan knowledge sharing dan kerjasama percepatan pembuatan vaksin. Hal ini, menurut Heru, akan lebih memudahkan para ahli menemukan solusi vaksin bagi dunia.
“Dalam platform digital tersebut ada knowledge sharing tapi tetap menjaga kerahasiaan, security dan properti tiap negara,” ujarnya.
Heru melanjutkan kolaborasi para insinyur sedunia ini hanya bisa dilakukan kalau standar kompetensinya disetarakan secara global. Di Indonesia, standarisasi ini dilakukan oleh PII bersama seluruh institusi pendidikan tinggi teknik dan asosiasi keahlian keteknikan.
“Standarisasi kompetensi insinyur di Indonesia dilakukan sepanjang Rantai Nilai Keinsinyuran (Engineering Value Chain),” ujarnya.
Rantai nilai yang pertama, papar Heru, adalah standardisasi kualitas program studi teknik di perguruan tinggi melalui akreditasi internasional; ratai kedua Pendidikan profesi insinyur; dan rantai ketiga adalah standarisasi kompetensi Insinyur Profesional (IP) melalui sertifikasi internasional. Dan ratai berikutnya registrasi insinyur.
“Kualifikasi Professional Engineer (PE) di luar negeri itu setara dengan sertifikat Insinyur Profesional Madya (IPM) di Indonesia,” ujar Heru mengenai standarisasi yang PII lakukan.
Menurut Heru, Insinyur sedunia juga melakukan standarisasi pendidikan teknik melalui akreditasi dan standarisais kompetensi IP melalui saling pengakuan atau MRA (mutual recognotion agreement) secara internasional. Hal ini disyaratkan agar dapat berkolaborasi guna mencapai 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang mana setiap tujuannya membutuhkan solusi keinsinyuran.
“Jadi kalau ingin membangun SDM yang unggul dan berdaya saing global, nah di bidang keinsinyuran, PII sudah menyiapkan sarana dan prasarannya disepanjang rantai nilai keinsinyuran tersebut,” ujarnya. Para insinyur tinggal manjalaninya maka akan sampai di tujuan.