EKBIS.CO, JAKARTA -- Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, menyatakan, proyek food estate di Kalimantan Tengah belum menjadi jawaban atas kebutuhan Indonesia untuk membenahi ketahanan pangan dalam jangka panjang. Pasalnya, dari proyek-proyek terdahulu, belum terdapat food estate yang memberikan manfaat signifikan bagi pangan nasional.
"Apakah food estate menjawab krisis pangan? kalau untuk kepentingan jangka pendek, jelas bukan jawaban. Apakah ini bisa berhasil itu dimensi jangka panjang," kata Khudori dalam webinar Serikat Petani Indonesia, Kamis (22/10).
Ia menjabarkan, pemerintah sebelumnya telah mengejarkan sejumlah proyek food estate. Di antaranya yakni proyek satu juta hektare sawah di lahan gambut di Kalimantan Tengah era Soeharto yang gagal akibat banyak faktor.
Selanjutnya, rice estate di Sumatera Selatan, food estate di Merauke, Bulungan, dan Ketapang yang juga gagal karena hasil tak sesuai harapan.
Menurut Khudori, penyebab kegagalan itu salah satunya akibat langkah modernisasi tanpa pembangunan sehingga food estate menjadi tak seimbang. Para transmigran yang dipindahkan sebagai pekerja juga hanya dijadikan sebagai penopang ekspansi agribisnis perusahaan.
Dampak lain yang memprihatinkan, kualitas hidup warga lokal justru jadi menurun dan malah menjadikan kondisi rawan pangan. "Ini catatan penting proyek food estate, kalau kita cek, belum ada satu pun yang berhasil," kata Khudori.
Pada era pemerintahan Joko Widodo, proyek food estate kembali dilakukan di lokasi yang sama, Kalimantan Tengah. Khudori mengatakan, dari informasi yang diberikan, food estate itu akan dikelola oleh korporasi berbasis petani dengan penggunaan teknolologi informasi.
Namun, konsep korporasi petani yang akan diterapkan pemerintah masih patut dipertanyakan. Terutama terkait peran dan posisi petani itu sendiri dalam korporasi yang akan dibentuk.
Digarapnya proyek food estate Kalteng itu salah satuna dilatarbelakangi oleh ancaman krisis pangan. Ancaman itu bermula dari peringatan Badan Pangan dan Pertanian dunia (FAO) pada awal masa pandemi. Di mana, rawan pangan diakibatkan oleh terganggunya distribusi logistik.
Di saat yang bersamaan, terdapat peringatan bahwa akan terjadi cuaca kemarau panjang yang bakal mengganggu aktivitas pertanian. Namun, Khudori menilai krisis pangan hingga akhir tahun ini kemungkinan tidak akan terjadi.
Pasalnya, ancaman kekeringan agaknya tidak terjadi karena saat ini justru memasuki iklim La Nina. Selain itu, produksi pangan global rata-rata mengalami kenaikan dan tidak terdapat gagal produksi di negara-negara produsen pangan seperti yang terjadi pada krisis pangan 2008 dan 2011.
"Kita tunggu, masih ada waktu empat tahun bagi pemerintah mudah-mudahan belajar banyak dari kegagalan yang sudah ada," kata dia.