EKBIS.CO, JAKARTA -- Meski memiliki potensi ekonomi yang begitu besar, hingga saat ini hanya lima dari 22 negara anggota Indian Ocean Rim Association (IORA) yang telah mencapai status negara berpenghasilan tinggi atau kaya. Kelima negara itu adalah Singapura, Australia, UEA, Oman, dan Seychelles.
Sebab itu, kebijakan kolaboratif harus dilaksanakan secara sinergis di antara anggota IORA. IQRA juga perlu memperkuat konektivitas negara anggota untuk membentuk ikatan budaya di antara negara-negara anggota Samudra Hindia. Sehingga, terjalin kerja sama di bebagai bidang termasuk teknologi dan informasi untuk percepatan transformasi digital untuk mendorong kemajuan pembangunan di masing masing negara anggota IORA.
Hal itu disampaikan Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS saat pemaparan tentang “Strengthening a Win-Win Economic Cooperation between South Korea And IORA Member States in Industry 4.0 Era,” pada International Online Seminar of Indian Ocean Rim Association (IORA), Kamis (29/10).
IORA merupakan organisasi intra-kawasan di Samudra Hindia yang berdiri pada Maret 1997 di Mauritius. IORA menjadi forum regional, bersifat tripartit, menghimpun perwakilan dari negara, bisnis, dan akademia, untuk mempromosikan kerja sama dan interaksi erat di antara anggotanya.
Adapun tujuan IORA adalah menjadikan semua negara anggota IORA sebagai negara maju dan sejahtera atau berpenghasilan tinggi dengan GNI (Pendapatan Nasional Bruto) per kapita lebih besar dari 12.535 doolar AS, secara adil dan berkelanjutan.Selain itu, menjadikan IORA sebagai kawasan yang damai, stabil, ramah lingkungan, dan berkelanjutan untuk dunia yang lebih baik dan berkelanjutan.
Prof Rokhmin menyebutkan, wilayah IORA yang terdiri dari 22 negara anggota adalah rumah bagi lebih dari 3 miliar orang. Jumlah ini mencakup sekitar 40 persen populasi global.
“Saat ini, setengah dari kapal kontainer dunia dan dua pertiga pengiriman minyak dunia melewati Samudra Hindia, termasuk titik transit utama seperti Bab el-Mandeb, dan Selat Hormuz dan Malaka," ujar Rokhmin, yang juga Koordinator Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020-2024 dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Selain itu, kata dia, wilayah ini juga memiliki kekayaan sumber daya alam yang sangat besar termasuk minyak dan gas, mineral, perikanan, serta wilayah pesisir dan laut yang berpotensi untuk industri pariwisata bahari. “Sayang, potensi ini kurang dimanfaatkan dan tercermin dari kontribusi IORA terhadap PDB global hanya kurang dari 10 persen,” tutur Rokhmin yang juga ketua umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI).
Sebab itu, Rokhmin menambahkan, meski memiliki potensi ekonomi yang begitu besar, hingga saat ini hanya lima negara (22 persen) dari 22 negara anggota IORA yang telah mencapai status negara berpenghasilan tinggi atau kaya, yakni Singapura, Australia, UEA, Oman, dan Seychelles.
"Tujuh negara anggota (34 persen) yang termasuk dalam kelompok negara berpenghasilan tinggi-menengah adalah Malaysia, Mauritius, Maladewa, Afrika Selatan, Iran, Thailand, dan Indonesia," papar Rokhmin yang juga ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara).
Adapun lima negara anggota (22 persen) masih dikategorikan sebagai kelompok negara berpendapatan menengah bawah, yakni Sri Lanka, India, Komoro, Bangladesh, dan Kenya. Sisanya, lima anggota IORA (22 persen) masih merupakan negara miskin atau berpenghasilan rendah yakni Tanzania, Yaman, Mozambik, Madagaskar, dan Somalia.
Menurut Rokhmin, untuk mempertahankan status negara berpenghasilan tinggi seperti Singapura, Australia, UEA, Oman, dan Seychelles dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan 17 negara anggota lainnya menjadi negara berpenghasilan tinggi, maka kebijakan kolaboratif harus dilaksanakan secara sinergis.
Pertama, negara-negara anggota yang kaya harus mempertahankan pembangunan ekonomi dan tingkat kemakmurannya secara berkelanjutan. Kedua, 17 negara anggota harus meningkatkan pembangunan ekonomi dengan menerapkan industritrialisasi berbasis teknologi 4.0 (Revolusi Industri Keempat) dan transformasi digital di semua sektor pembangunan (pertanian, kelautan dan perikanan, industri manufaktur, jasa, dan pemerintah)."Langkah ini penting untuk mencapai status negara berpenghasilan tinggi dengan cara yang berkelanjutan dan ramah lingkungan," ujarnya.
Di Indonesia, kata Rokhmin, berhubung pentingnya implementasi Industri 4.0 bagi kemajuan dan kemakmuran suatu bangsa, maka Pemerintah Indonesia meluncurkan “Making Indonesia 4.0” pada 17 April 2018. “Making Indonesia 4.0 berfokus pada lima sektor prioritas, yakni makanan dan minuman, tekstil, elektronik, otomotif, dan bahan kimia," tuturnya.
Hanya saja, Rokhmin menyebutkan, implementasi “Making Indonesia 4.0”, termasuk transformasi digital, masih dihadapkan pada tantangan budaya, infrastruktur, dan talenta (sumber daya manusia). Hal ini tidak terlepas dari daya saing digital dunia Indonesia berada di peringkat ke-56 dari 63 negara yang disurvei WYC. "Indonesia menduduki peringkat 111 dari 176 dalam ICT Development Index," ujarnya.
Meski demikian, kabar baiknya jumlah startup di Indonesia cukup banyak yakni mencapai 2.198 perusahaan, nomor dua setelah India di antara negara-negara anggota IORA. Di sisi lain, pengguna ponsel, internet, dan media sosial juga sangat besar dan berkembang. "Di Indonesia, terdapat startup unicorn seperti Tokopedia, Traveloka, Bukalapak, dan OVO, sedangkan Gojek sudah menjadi startup decacorn," papar Prof Rokhmin Dahuri.