EKBIS.CO, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, Nilai Tukar Petani (NTP) November 2020 secara nasional naik 0,58 persen dibandingkan NTP September 2020, yakni dari 101,66 menjadi 102,25. Kenaikan NTP pada Oktober 2020 disebabkan oleh kenaikan indeks harga hasil produksi pertanian lebih tinggi dibandingkan kenaikan indeks harga barang dan jasayang dikonsumsi oleh rumah tangga maupun biaya produksi dan penambahan barang modal.
Kenaikan NTP Oktober 2020 dipengaruhi oleh naiknya NTP di tiga subsektor pertanian, yaitu NTP Subsektor Tanaman Hortikultura sebesar 2,10 persen, Subsektor Tanaman Perkebunan Rakyat sebesar 1,72 persen, dan Subsektor Perikanan sebesar 0,23 persen. Sementara itu, NTP pada dua subsektor lainnya mengalami penurunan, yaitu Subsektor Tanaman Pangan sebesar 0,10 persen dan Subsektor Peternakan sebesar 0,27 persen.
Kendati demikian, Sekretaris Umum Dewan Pengurus Pusat Serikat Petani Indonesia (SPI), Agus Ruli Ardiansyah menyampaikan masih terdapat catatan penting terkait perkembangan di masing-masing subsektor. "Meskipun NTP Subsektor Tanaman Hortikultura mengalami kenaikan, tapi nilainya masih 99,42, masih di bawah 100, nilai impas NTP. Jadi petani masih rugi," kata Agus dalam keterangan tertulisnya diterima Republika.co.id, Kamis (5/11).
Agus mencontohkan, berdasarkan laporan petani SPI dari Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, kondisi petani sayuran di sana mengalami penurunan penghasilan.
Ia menjelaskan, seprti harga sayur bayam bulan Oktober mengalami penurunan. Dari yang biasanya Rp 25.000 – Rp 30.000 per gabung (50 ikat), bulan Oktober turun menjadi Rp 15.000 per gabung. Begitu juga harga cabai rawit, dari yang biasanya Rp 30.000 per kg turun menjadi Rp 15.000 – Rp 20.000 per kg.
Agus Ruli menjelaskan hal ini terjadi karena rendahnya penyerapan dari pasar. "Akibat Pandemi Covid-19, sempat pasar tradisional di Bogor tutup sementara dengan alasan penyemprotan disinfektan. Penyerapan sayuran di Jakarta juga tentu ini berdampak kepada petani sayuran di Bogor karena sebagian besar petani sayuran di Bogor menjual dan mengirimkan sayurannya ke Jakarta," katanya.
Agus Ruli melanjutkan, kondisi ini harus diantisipasi pemerintah, mengingat berdasarkan data BMKG, Indonesia akan mengalami fenomena la nina. La nina terjadi pada periode musim hujan dengan itensitas tinggi yang dimulai pada bulan Oktober 2020 hingga April 2021 di Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
"Fenomena La Nina akan menyebabkan curah hujan yang sangat tinggi bahkan dapat memicu banjir. Hal ini akan memperbesar resiko kegagalan panen, khususnya bagi petani padi mengingat padi adalah tanaman yang tidak boleh kelebihan air. Di samping itu serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) akan semakin meningkat karena kelembaban tinggi," kata Agus.
Agus Ruli menambahkan, resiko kegagalan panen cukup tinggi karena di beberapa wilayah tanaman padi banyak yang terendam banjir, dan karena curah hujan yang tinggi harga gabah anjlok di bawah HPP.