EKBIS.CO, JAKARTA -- Head of Research Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta menuturkan, pemerintah perlu mengevaluasi sistem perizinan impor pangan. Evaluasi itu penting karena sistem perizinan yang ada rentan terhadap pelanggaran, seperti pada pemberian kuota dan proses perizinan yang tidak transparan.
Felippa menjelaskan, implementasi sistem perizinan impor non-otomatis dapat berdampak pada tertundanya proses perizinan impor yang pada akhirnya menyebabkan kekurangan pasokan dan meroketnya harga di pasar.
Sebab, izin impor pangan dan pertanian masih bergantung pada kebijakan dan koordinasi antara Kementerian Perdagangan dengan Kementerian Pertanian, prosesnya seringkali menghabiskan waktu yang lama.
Pengurusan perizinan impor yang memakan waktu itu menghilangkan momentum yang strategis bagi importir untuk mengimpor, yaitu di saat harga di pasar internasional sedang murah. Bahkan karena keterlambatan, saat komoditas yang diimpor sampai ke Tanah Air, justru bersamaan dengan masa panen sehingga akhirnya merugikan petani.
“Pengurusan izin impor yang berlarut-larut juga berpotensi menimbulkan biaya tambahan yang nantinya dikhawatirkan akan berdampak pada harga jual komoditas tersebut. Lagi-lagi konsumen yang akan dirugikan,” jelasnya.
Sebelumnya, Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) melaporkan bahwa penundaan penerbitan izin impor telah menyebabkan harga bawang putih di DKI Jakarta melonjak dari Rp 40.000 per kilogram pada Januari menjadi Rp70.000 per kilogram pada Februari 2020.
KPPU juga menyebut hal itu terjadi pada kuartal pertama setiap tahun ketika izin impor biasanya diterbitkan. KPPU juga melaporkan, karena Kementerian Perdagangan terlambat memberikan izin impor, harga gula dalam negeri melonjak hingga 240 persen dan 260 persen di atas harga gula internasional pada April dan Mei 2020 berdasarkan data International Sugar Organization.
“Impor merupakan sebuah instrumen untuk menjaga ketersediaan pasokan dan menjaga kestabilan harga. Impor yang efektif tentu idealnya harus dilakukan dengan cepat supaya komoditas yang diimpor bisa memberikan dampak yang diharapkan di waktu yang tepat, misalnya dilakukan jauh hari sebelum petani masuk masa panen, sehingga hasil panen petani tetap bisa terserap secara maksimal oleh pasar,” tambahnya.
Ia melanjutkan, jumlah kuota impor yang tersedia juga seringkali tidak diinformasikan secara jelas. Ketidaktransparanan ini membuka celah untuk pelanggaran, misalnya saja perilaku mencari rente dan korupsi. Perilaku rente dan korupsi pada impor pangan sudah menggiring beberapa nama besar ke dalam penjara.
CIPS merekomendasikan penggunaan automatic import licensing system, dimana importir mendaftar di Online Single Submission (OSS) dan jika importir memenuhi syarat, maka secara otomatis akan mendapat izin impor.
"Sistem automatic import licensing system ini harus dibuat lebih transparan, predictable, reliable dan non-discriminatory, serta diproses secara lebih cepat. Proses pengurusan yang lebih efisien akan meminimalkan kerugian yang dialami petani maupun konsumen," kata dia.