EKBIS.CO, BOGOR -- Dosen IPB University Dr Irzal Effendi mengatakan, budidaya lobster di tanah air belum berkembang. Menurutnya, belum berkembangnya budidaya lobster di tanah air ini berkaitan dengan masih adanya produksi lobster hasil penangkapan.
Hal ini memunculkan ungkapan, buat apa bersusah payah budidaya lobster, sementara di alam masih tersedia. “Oleh karenanya, usaha budidaya lobster belum kompetitif dibandingkan dengan penangkapan,” ujar dosen IPB University dari Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (BDP-FPIK) yang pernah meneliti agribisnis lobster pada tahun 1995 di Papua dan pembudidayaannya pada tahun 2004 dan 2018 di Nusa Tenggrara Barat.
Dr Irzal mengemukakan, untuk mengembangkan budidaya lobster nasional yang berdaya saing dan berkelanjutan, perlu roadmap yang bisa menjadi acuan bagi pemerintah, pelaku usaha, peneliti dan masyarakat. “Roadmap tersebut mencakup 12 langkah berupa program di level on farm dan off farm,” tutur Ketua Program Studi Teknologi Produksi dan Manajemen Perikanan Budidaya Sekolah Vokasi, IPB University ini.
Dua belas langkah yang dimaksud adalah penentuan lokasi pengembangan, pendugaan stok lobster di alam, pengembagan teknologi dan manajemen pendederan dan pembesaran, pengembangan pembenihan (hatchery), serta pengembangan pasar dan agribisnis.
Selain itu, pengembangan aspek legal, pengembangan sumber daya manusia dan kelembagaan, pengelolaan lingkungan perairaan, penerapan standarisasi dan sertifikasi, pelepasliaran, pengembangan fasilitas produksi serta pengembangan infrastruktur wilayah.
“Lokasi pengembangan budidaya harus sesuai berdasarkan pertimbangan biologis, ekologis dan bisnis serta dengan memperhatikan aspek sosial budaya, sehingga dicapai kelangsungan hidup, pertumbuhan dan produksi lobster yang maksimum serta efisiensi usaha yang tinggi. Pengkajian stok lobster berbagai stadia (ukuran) di alam harus dikerjakan guna memberi kepastian ketersediaan benih bagi usaha budidaya yang masih menggunakan benih alam. Hasil kajian ini juga bisa memberi informasi jumlah, ukuran, lokasi dan waktu (musim) benih yang boleh diambil dari alam secara lestari untuk keperluan input produksi budidaya,” ujarnya dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Sabtu (14/11).
Dr Irzal juga menyampaikan bahwa teknologi dan manajemen pembenihan (hatchery), pendederan serta pembesaran lobster perlu dikembangkan. Hal tersebut mencakup konstruksi wadah, benih, pakan, kesehatan, kualitas air, monitoring pertumbuhan dan populasi, panen dan pascapanen.
“Pengembangan ditujukan untuk meningkatkan keberlangsungan hidup dan memacu pertumbuhan sehingga diperoleh produksi dengan produktivitas yang tinggi. Kematian lobster yang tinggi merupakan akibat kanibalisme dan pertumbuhan lambat yang perlu diatasi dengan pengembangan teknologi lingkungan dan pakan,” ujarnya.
Pakan buatan lengkap yang lebih praktis dan bisa tersedia setiap saat perlu dikembangkan. Hatchery lobster perlu dibangun untuk menyediakan benih secara tepat waktu, tepat jumlah, tepat mutu dan tepat harga (4T), serta bisa mengurangi ketergantungan kepada benih dari alam yang seringkali tidak 4T. Riset yang mencakup pengelolaan induk, pemeliharaan larva dan benih, serta kultur pakan alami plankton perlu dilakukan dan dimulai sekarang, mengingat pengembangan hatchery lobster bersifat jangka panjang.
“Bisnis hatchery lobster awalnya belum menguntungkan mengingat lamanya stadia larva phyllosoma yang konon mencapai 3-9 bulan. Oleh karena itu perlu peran pemerintah melalui lembaga penelitian dan perekayasaan terkait yang didukung oleh akademisi dari perguruan tinggi, untuk membuat percontohan hatchery lobster untuk pelaku usaha dan masyarakat,” ujar Dr Irzal.
Ia juga menyampaikan jika kondisi ekosistem perairan, sosial ekonomi budaya lokasi dan teknologi adaptasi benih restocking, serta metode restocking, termasuk rancangan monitoring dan evaluasi lobster yang di-restocking harus dikuasai, sehingga tujuan restocking yakni menjaga kelestarian lobster bisa dicapai. Aspek sosial ekonomi budaya kawasan restocking perlu diperhatikan mengingat restocking dilakukan di perairan yang bersifat common property, open access dan multiple purposes.
“Pengembangan pasar dan agribisnis perlu dilakukan untuk menjamin ketersediaan pasar lobster ukuran konsumsi yang bersifat eksotik, dengan karakteristik pasar yang cenderung terkonsentrasi pada kawasan atau negara tertentu dan segmen kalangan menengah ke atas di kawasan metropolitan dunia. Perlu perluasan pasar dari sekedar ke Cina dan kawasan Asia Timur lainnya, yakni ke Uni Eropa, Amerika Serikat dan Timur Tengah melalui promosi, standarisasi/sertifikasi dan sebagainya,” tuturnya.
Ia juga menuturkan jika pemerintah bisa berperan dalam penetrasi pasar lobster dengan menekan biaya angkut produk ke mancanegara. Pasar dalam negeri tidak boleh dikesampingkan, mengingat populasi penduduk Indonesia yang tinggi dan berkembangnya kawasan pertumbuhan yang mengarah kepada konsep megapolitan. Masa pandemi COVID-19 ini memang menekan pasar seafood global, namun akan bersifat sementara dan pasar laten tetap besar termasuk pasar domestik.
Dewasa ini pasar global seafood, terutama Cina, mulai menggeliat dan bergerak meningkat secara signifikan. Diperkirakan tahun ini juga akan kembali normal bahkan melampaui tahun sebelum adanya COVID-19.
Melalui roadmap di atas, diperkirakan dibutuhkan waktu sekitar 3-9 tahun untuk pengembangan dan 4-6 tahun untuk pemantapan akuakultur lobster nasional. Target dan indikator capaian pada tahun ke-1, 2, 5, 10 atau 15 tahun disusun secara terukur yang mencakup variabel luas atau jumlah unit fasilitas produksi (karamba, hatchery, penampungan), jumlah pembudidaya/perusahaan, kinerja produksi dan bisnis serta pendapatan masyarakat dan ekonomi wilayah.
“Indonesia memerlukan perusahaan lobster yang memiliki visi yang kuat, memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi dan terdepan dalam Iptek budidaya,” pungkasnya.