Selasa 24 Nov 2020 16:00 WIB

Konsumen RI Beli Gula 28 Persen Lebih Mahal dari Harga Dunia

Harga jual gula di dalam negeri lebih mahal daripada patokan harga di pasar global.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Pedagang menata gula pasir jualannya di salah satu pasar tradsional (ilustrasi). Harga gula di dalam negeri diketahui lebih mahal 28,1 persen dari rata-rata harga pasar global.
Foto: Antara/Febri Angga Palguna
Pedagang menata gula pasir jualannya di salah satu pasar tradsional (ilustrasi). Harga gula di dalam negeri diketahui lebih mahal 28,1 persen dari rata-rata harga pasar global.

EKBIS.CO,  JAKARTA -- Harga gula dalam negeri diketahui lebih mahal 28,1 persen dari rata-rata harga pasar global. Sejumlah faktor menjadi pemicu tingginya harga gula yang harus ditanggung oleh konsumen.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, Didi Sumedi mengatakan, pada tahun ini, disparitas harga gula justru meningkat. Harga yang diterima konsumen dalam negeri lebih tinggi 29,7 persen dari harga dunia.

Baca Juga

"Konsumen dalam negeri membeli gula lebih mahal dibandingkan harga yang dinikmati masyarakat global," kata Didi dalam National Sugar Summit yang digelar secara virtual, Selasa (24/11).

Didi menjelaskan, harga gula domestik lebih tinggi disebabkan oleh besaran biaya pokok produksi (BPP) gula yang dikeluarkan petani dalam memproduksi gula. Ia mencatat rata-rata BPP yang dikeluarkan petani mencapai Rp 9.857 per kilogram (kg).

Tingkat BPP tersebut naik dari rata-rata BPP gula tahun lalu sebesar Rp 9.554 per kg. Adapun rata-rata BPP tebu di pasar internasional sekitar Rp 5.465 per kg.

Lebih lanjut, produktivitas tebu yang rendah turut menjadi pemicu. Didi menyebutkan, produktivitas gula nasional mencapai 5 ton per ha per tahun. Sementara itu, negara produsen lain seperti India dan Thailand, bisa mencapai produktivitas mencapai 9 ton per ha per tahun.

Biaya sewa lahan yang masih tinggi juga memicu tingginya harga gula domestik. Sewa lahan memberikan kontribusi sekitar 30 sampai 40 persen terhadap komponen BPP gula.

Adapun soal kualitas, ia mengatakan, gula dari luar negeri cenderung lebih baik karena tingkat rendemennya yang mencapai 9 persen. Rendemen di Indonesia tercatat masih berkisar 6,8 sampai 7 persen.

"Ini merefleksikan, kebutuhan gula masyarakat belum ditopang secara penuh oleh industri gula dalam negeri sendiri. Kita masih menjadi importir gula terbesar di dunia, nomor satu," katanya.

Karena itu, Didi mengatakan, situasi gula dalam negeri perlu mendapatkan perhatian penuh dari semua pemangku kepentingan. Sebab, tanpa langkah strategis yang ditempuh, ketergantungan impor akan semakin besar.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement