EKBIS.CO, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani hari ini mengeluarkan pernyataan mengenai kenaikan cukai rokok sebesar 12,5 persen yang akan diberlakukan pada Februari 2021. Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta (ITB-AD), Dr. Mukhaer Pakkanna, SE., MM, bersama Center of Human and Economic Development (CHED) ITB-AD sebagai pusat studi yang salah satu fokus kajiannya mengenai pengendalian tembakau di Indonesia, menyambut baik dan menyampaikan apresiasi terhadap keputusan Pemerintah ini.
"Kami mengapresiasi keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah mengenai kenaikan cukai rokok. Namun demikian, pemerintah dalam hal ini Kementrian Keuangan perlu mempertimbangkan kerugian makro di sektor kesehatan dan pembangunan manusia yang menjadi tujuan utama kenaikan cukai hasil tembakau," ujar Mukhaer Pakkana pada Jum'at (11/12).
Sementara itu, Roosita Meilani Dewi selaku Ketua CHED ITB-AD menjelaskan berdasarkan data yang dilansir oleh Litbang Kesehatan pada 2015 dan kajian yang dilakukan CHED ITB-AD pada 2020 bahwa kerugian makro yang dihitung berdasarkan eksternalitas negatif (dampak negatif) yang ditimbulkan oleh tembakau dan produk turunannya di Indonesia tercatat sekitar Rp 727,7 triliun. Kerugian ini terdiri dari kerugian total kehilangan tahun produktif Rp 374,06 triliun, belanja kesehatan total (rawat inap) Rp 13,67 T, belanja kesehatan total (rawat jalan) Rp 208,83 T, serta biaya konsumsi rokok Rp 131,14 T.
"Dan dapat dipastikan, bahwa kerugian makro ini akan terus meningkat di saat pandemi COVID 19 seperti sekarang ini," kata Roosita pada Jum'at (11/12).
Roosita juga mengatakan bahwa pertimbangan dampak kenaikan cukai terhadap buruh, petani, serta maraknya rokok ilegal yang selalu menjadi alasan klasik perlu ditinjau ulang dengan optimalisasi penggunaan DBHCHT (Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau) oleh pemerintah daerah secara jelas dan terukur.
"Pertimbangan dari sisi industri secara mikro tidak mencerminkan keberpihakan keadilan terhadap penyelamatan generasi muda dan rakyat golongan miskin dari terpaparnya zat adiktif," terang Roosita.
Hipotesis Kementerian Keuangan sendiri menyebutkan bahwa dengan kenaikan cukai hasil tembakau rata-rata 12,5 persen yang akan menurunkan prevalensi perokok dewasa sebesar 32,3 persen sampai 32,4 persen dan turunnya perokok anak sebesar 8,8 persen hingga 8,9 persen.
Sementara itu, Riset Bappenas (2019) menghasilkan bahwa kenaikan cukai hasil tembakau minimal sebesar 25 persen pada tahun 2020 dapat menjadi tolak ukur mengurangi kerugian makro yang ditimbulkan secara bertahap yaitu dengan menurunkan prevalensi perokok anak menjadi 8,6 persen pada tahun 2024 (Sesuai target pencapaian RPJMN).
"Hipotesis kemenkeu ini perlu dibuktikan agar dapat diterima pada tahun target capaian. Mengingat data historis kenaikan cukai hasil tembakau rata-rata 10 persen per tahun tidak dapat menurunkan prevalensi perokok anak dan dewasa," pungkas Roosita.