EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintah Republik Indonesia semakin serius menggarap sektor ekonomi syariah dalam beberapa tahun terakhir. Sejak Masterplan Ekonomi dan Keuangan Syariah 2019-2024 diluncurkan Bappenas, Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) resmi beroperasi.
Ranah strategis KNKS pun diperluas menjadi Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) dengan Presiden RI, Joko Widodo sebagai Ketua Umum dan Wakil Presiden Maruf Amin sebagai Ketua Harian di awal tahun 2020.
Masterplan memiliki berbagai target pengembangan ekonomi dan keuangan syariah, baik di sisi keuangan syariah, dana sosial syariah, hingga industri halal. Tujuan utama pemerintah adalah menjadikan Indonesia sebagai pusat ekonomi syariah global pada 2024.
Rencana tersebut bukan tidak mungkin. Sejak mulai menyambungkan dan memperbaiki rantai-rantai yang terputus, Indonesia berhasil menduduki peringkat empat dalam The State of Global Islamic Economic Report 2020/2021, dari sebelumnya peringkat lima pada 2019 dan peringkat 10 tahun 2018.
Meski demikian, ekonomi syariah masih jadi barang asing di dalam negeri sendiri. Ketua Dewan Pengawas Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Wimboh Santoso menyebut aset keuangan syariah, tidak termasuk saham syariah, mencapai Rp 1.741,87 triliun per Oktober 2020.
Sampai September 2020, pangsa pasarnya terhadap keuangan nasional sebesar 9,69 persen. Aset tersebut meliputi aset perbankan syariah sebesar Rp 575,85 triliun, industri keuangan bukan bank syariah sebesar Rp 111,44 triliun, dan pasar modal syariah sebesar Rp 1.022,87 triliun.
Wimboh mengatakan perlu strategi khusus untuk membuat pangsa pasar lebih besar. OJK setidaknya ingin pangsa pasar keuangan syariah mencapai 20 persen.
“Setidaknya kita ingin jika porsinya mencapai 20 persen,” katanya dalam diskusi daring Sharia Business and Academic Sinergy (SBAS) 2020 Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) beberapa waktu lalu.
Sementara itu, pasar modal syariah ditopang signifikan oleh sukuk negara. Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian telah menyatakan komitmen meningkatkan peran instrumen keuangan syariah dalam pengelolaan negara.
Direktur Pembiayaan Syariah DJPPR, Dwi Irianti Hadiningdyah mengatakan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) telah memberikan kontribusi signifikan terhadap perkembangan aset keuangan syariah secara nasional.
"Pangsa SBSN terhadap obligasi nasional saat ini berada di kisaran 19,4 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan market share perbankan syariah yang di angka 6,05 persen per Mei 2020," katanya kepada Republika.co.id, Kamis (3/9) lalu.
Porsi SBSN dalam pembiayaan APBN juga terus mengalami peningkatan. Jika dihitung dari jumlah penerbitan tahunan, porsi penerbitan SBSN terhadap SBN selama tahun 2016–2020 mencapai 26-30 persen.
Jumlah tersebut meningkat signifikan jika dibandingkan dengan porsi penerbitan SBSN terhadap SBN pada tahun pertama penerbitannya di 2009 yang sekitar 12 persen. Outstanding SBSN saat ini telah mencapai Rp 916,5 triliun per 27 Agustus 2020.
"Ini menunjukan kontribusi SBSN terhadap pembiayaan APBN terus meningkat," katanya.
Dwi mengatakan dalam beberapa tahun ke depan, target utama capaian Pemerintah adalah membentuk pasar Surat Berharga Negara (SBN) yang aktif, dalam, dan likuid. Untuk itu, upaya memperkuat infrastruktur dan mengembangkan pasar SBSN terus dilakukan.