EKBIS.CO, BEIJING -- Kepala Ekonom Bank Dunia Carmen Reinhart mendorong China melakukan restrukturisasi utang. Dorongan ini disampaikan di tengah peningkatan tekanan utang di pasar negara berkembang ke China yang ini menjadi kreditor resmi terbesar di dunia.
Dalam diskusi panel di Reuters Next, Selasa (12/1), Reinhart mengatakan, China perlu melakukan upaya serupa seperti Paris Club pada krisis lalu, yakni restrukturisasi. "Restrukturisasi dilakukan secara besar, yang berarti suku bunga rendah, jatuh tempo lebih lama, penghapusan pokok atau kombinasi dari itu," tuturnya, seperti dilansir di Reuters.
Reinhart menyebutkan, selama pandemi Covid-19, China perlu mengambil 'peran baru' yang telah menjadi 'peran lama' Paris Club. Sebab, untuk pertama kalinya, kini Beijing berada di situasi para debitur mengalami kesulitan membayar utang dalam skala luas.
China telah menandatangani inisiatif penangguhan utang G20 yang memungkinkan 73 negara termiskin di dunia untuk menghentikan pembayaran utang bilateral resmi guna membantu mendanai bidang kesehatan yang kini menghadapi masa krisis. China juga telah menyetujui kerangka restrukturisasi utang G20 lebih lanjut.
"Tantangan sebenarnya adalah di masa berikutnya, ketika kita bergerak ke tahap di mana Anda harus menghadapi penurunan aset," kata Reinhart.
Reinhart, seorang ekonom Harvard yang bergabung dengan Bank Dunia pada Juni 2020, telah meneliti dan menulis secara ekstensif mengenai krisis keuangan. Tahun lalu, ia ikut menulis makalah ilmiah mengenai pinjaman luar negeri China yang menemukan, sebanyak 50 persen di antaranya tidak dilaporkan ke Bank Dunia ataupun Dana Moneter Internasional (IMF).
Direktur Bank Dunia David Malpass telah memperingatkan, tanpa keringanan utang yang lebih permanen, akan lebih banyak orang-orang di negara berkembang akan jatuh kembali ke dalam kemiskinan. Selain itu, terulangnya gagal bayar secara tidak teratur yang pernah terjadi pada 1980-an dapat kembali terjadi.
Malpass telah menekankan China untuk berpartisipasi penuh dalam upaya keringanan utang. Termasuk di antaranya, utang yang diterbitkan oleh perusahaan milik negara.
Kegagalan pasar yang sedang berkembang di Amerika Latin dan Asia Timur menyebabkan upaya pembatalan utang secara meluas. Hal ini pernah terjadi seperti rencana Brady pada akhir 1980-an dan inisiatif Negara-Negara Miskin Berhutang Tinggi (HIPC) pada 1990-an.
Tapi, Reinhart menilai, kebijakan seperti HIPC masih belum dibutuhkan sampai saat ini. Kerangka kerja umum G20 untuk restrukturisasi utang dinilainya sudah mampu mengatasi permasalahan karena mengambil pendekatan kasus per kasus.
Di sisi lain, Reinhart menuturkan, baik kreditor Paris Club dan China mungkin akan mengalami kesulitan untuk inisiatif dalam skala luas seperti Brady dan HIPC. "Apakah itu HIPC atau Brady atau bentuk apapun, saya tidak melihatnya dibutuhkan dalam waktu dekat," ujarnya.
BACA JUGA: Cek Fakta: Ratusan Santri Pingsan Setelah Divaksin Covid-19?