Tapi, Yusuf memproyeksikan, kondisi neraca dagang pada tahun ini akan lebih baik seiring dengan pemulihan ekonomi global. Khususnya perbaikan ekonomi negara tujuan ekspor utama Indonesia seperti China, Amerika Serikat (AS), ASEAN, Jepang hingga India. Kondisi ini tentu berpotensi mendorong meningkatnya ekspor dari Indonesia.
Yusuf menambahkan, pemulihan ekonomi di China dan India bahkan berpotensi menggerek harga komoditas ekspor utama Indonesia seperti sawit dan batubara. "Jadi, bukan saja volume yang meningkat, tapi juga secara harga akan meningkat," katanya.
Di sisi lain, beberapa perjanjian perdagangan juga sudah mulai berlaku pada tahun ini. Misalnya, perjanjian dengan Korea Selatan yang berpotensi menambah laju ekspor. Oleh karena itu, Yusuf memperkirakan, potensi ekspor untuk surplus masih ada.
Namun demikian, Yusuf menekankan, pemerintah tetap harus memperhatikan kinerja impor yang berpotensi meningkat di tahun ini. Sebab, proyeksi perbaikan ekonomi di dalam negeri dan pembangunan infrastruktur yang kembali akan digencarkan kembali pada 2021 akan mendorong impor bahan baku industri, barang modal maupun konsumsi.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatatkan, neraca perdagangan Indonesia sepanjang tahun lalu mengalami surplus 21,74 miliar dolar AS. Surplus ini mencatatkan rekor tertinggi selama sembilan tahun terakhir.
Ketua BPS Suhariyanto mengatakan, surplus yang tinggi pada tahun lalu merupakan tertinggi sejak 2011. "Saat itu, neraca kita surplus 26,06 miliar dolar AS," tuturnya dalam konferensi pers secara virtual, Jumat (15/1).