Ia melanjutkan, di beberapa wilayah, faktor curah hujan ini bahkan memicu gagal panen dan bencana ekologis.
Di Tuban, Jawa Timur, curah hujan terlalu tinggi mengakibatkan hama wereng merebak. Bahkan di Kotabaru, Kalimantan Selatan (Kalsel), bencana banjir yang terjadi di awal tahun 2021 ini mengakibatkan Kawasan Daulat Pangan (KDP) SPI Kalsel di Desa Penggalaman dan sekitarnya terendam banjir.
“Singkong dan jagung, harganya relatif rendah di tingkat petani. Untuk singkong misalnya, laporan anggota SPI di Desa Rengas, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan menyebutkan harga di tingkat petani mencapai 500 per kg untuk yang rendah dan paling tinggi Rp600 per kg,” tambahnya.
Untuk subsektor Hortikultura, Agus Ruli menyebutkan kendati NTP Hortikultura menunjukkan tren kenaikan dalam 4 bulan terakhir, hal ini belum sepenuhnya memberikan keadilan bagi petani.
“Kami melihat perbedaan harga di tingkat petani dan pasar masih menjadi momok yang belum dipecahkan. Hal ini sebenarnya berlaku di tiap subsektor, tetapi paling terasa dampaknya di subsektor Hortikultura seperti sayur-sayuran," ujarnya.
Sebagai contoh untuk cabai merah keriting, terdapat disparitas harga sangat tinggi. Di Sukabumi misalnya, harga cabai di tingkat petani berada di kisaran Rp45.000-Rp49.000 sementara begitu di pasar harganya mencapai Rp75.000 - Rp80.000 per kg," ujar Agus.
Agus pun meminta pemerintah untuk mengambil kebijakan yang tepat untuk mengatasi masalah bencana ekologis dan ketidakadilan harga yang masih menimpa petani di Indonesia.
“Terkait curah hujan yang terlalu tinggi, di samping memang ada fenomena monsum Asia musim dingin , kita harus melihat ini merupakan sebagai dampak dari perubahan atau krisis iklim yang sedang terjadi. Cuaca menjadi semakin sulit diprediksi dan jelas berdampak buruk pada pertanian kita,” ujarnya.