Hal ini berimplikasi terhadap tingginya biaya modal pembangunan mega proyek petrokimia di Indonesia, karena PPN 10 persen yang tidak dapat dikreditkan akhirnya menjadi biaya modal.
Sebagai gambaran mega proyek petrokimia terintegrasi dengan ethylene cracker kapasitas 1 juta ton per tahun memiliki CAPEX 5 miliar dolar AS dengan demikian biaya modal dari PPN-nya saja bisa bernilai 500 juta dolar AS atau Rp7 triliun di luar biaya modal lainnya.
Sedangkan di Thailand dan Vietnam tidak memiliki batasan pengkreditan PPN bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) belum berproduksi. Dengan demikian investor akan cenderung melihat kedua negara tersebut sebagai lokasi yang lebih layak untuk ditanamkan investasi mega proyek petrokimia.
“Kami mengapresiasi berbagai dukungan dan respons cepat pemerintah, khususnya dalam konteks insentif pajak dan terbitnya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,” ujar Suhat.
UU ini sebenarnya telah mengakomodir dalam pasal 9 ayat 6(c), bahwa sektor usaha tertentu dapat memiliki masa kredit lebih dari 3 tahun. Namun, karena Indonesia terakhir memiliki mega proyek petrokimia kurang lebih 30 tahun yang lalu, bisa jadi pemangku kepentingan tidak menyadari bahwa ada megaproyek strategis yang membutuhkan masa kredit PPN hingga 15 tahun.
“Dengan demikian, kami mengingatkan dan memohon perhatian kepada pemangku kepentingan agar dapat mengakomodir hal ini dalam regulasi yang sesuai perundang-undangan,” tutup Suhat.