"Bisnis logistik lagi booming, jadi pesawatnya harus concern cari pendapatan di kargo. Dua tahun ke depan sepertinya tren masih begitu. Kargo jadi andalan maskapai, pasar angkutan penumpang tidak bisa drastis pulih, perlu waktu dua tahun," ungkap Arista.
Pengamat penerbangan yang juga sebagai Presiden Direktur Aviatory Indonesia Ziva Narendra Arifin mengatakan pembatalan kontrak dengan Bombardier CRJ 1000 merupakan langkah yang tepat sebagai solusi jangka pendek dan jangka panjang.
"Jangka pendek yang saya maksud adalah untuk mengurangi beban biaya di masa krisis pandemi dan juga menimbang utilisasi pesawat CRJ yang semakin menurun," ucap Ziva.
Sedangkan untuk jangka panjang, kata Ziva, keputusan ini bisa membuka peluang atau momentum baru untuk Garuda Indonesia memulihkan bisnisnya saat krisis sudah berlalu dan juga menentukan strategi baru untuk bukan hanya bertahan dan menutup kerugian, namun juga kembali mengembangkan sayap, khususnya dalam membuka rute-rute baru, baik domestik maupun internasional.
Belajar dari pengalaman sebelumnya, Ziva menilai Garuda bisa lebih cermat dalam mengkaji model bisnis yang lebih optimal. Ziva menyebut era maskapai dengan armada yang terlalu beranekaragam sudah berlalu yang mana maskapai besar telah mengambil pelajaran dari segmen LCC yang dalam dua dekade semakin membesar penguasaan pangsa pasarnya.
"Pekerjaan rumah Garuda masih banyak karena kerugian bertubi-tubi yang dialami selama lima tahun terakhir, namun diharapkan dengan pengurangan beban biaya melalui pemutusan kontrak CRJ bisa menjadi awal dari langkah optimalisasi tersebut," kata Ziva menambahkan.