Peta Ketahanan
Situasi yang sama juga terlihat dari Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan atau Food Security and Vulnerability Atals (FSVA), dimana jumlah kabupaten/kota yang rentan rawan pangan mengalami penurunan dari 76 kab/kota pada tahun 2019 menjadi 70 Kabupaten/Kota rentan rawan pangan di tahun 2020.
Namun, Riyanto setuju jika food loss dan food waste yang menjadi bagian dari Food Sustainable Index itu perlu menjadi perhatian bersama, terutama dalam mengubah prilaku masyarakat yang kadang-kadang cendrung membuang-buang makanan.
"Ini memang perlu menjadi perhatian bersama karena perilaku masyarakat kita yang kalau ada pesta dan makan di restoran atau ketika mengolah makanant banyak yang hilang dan menjadi food waste. Tapi sekali lagi ini tidak terkait dengan kekurangan produksi pangan, hanya cerminan masyarakat kita saja yang kurang menghargai makanan," katanya.
Riyanto mengusulkan, ke depan pemerintah bisa membuat kebijakan efek jera dengan mendenda setiap masyarakat yang terbukti membuang makanan baik saat berada si sebuah pesta maupun ketika sedang makan sebiah restoran.
"Perilaku tersebut yang dimaksud tidak sustainable. Dan inilah yang menjadi tugas pemerintah dengan membuat kebijakan denda bagi mereka yang masih menyisakan manakan sehingga membuat food waste. Saya kira Ini perlu agar food waste berkurang," tutupnya.
Senada dengan Riyanto, Pengamat Pangan sekaligus Dosen Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Sujarwo, mengatakan bahwa index sustainable tidak bisa dijadikan rujukan angka statistik untuk sebuah status pada suatu negara mengenai ketahanan pangan.
"Tidak bisa! Index sustainable seperti ranking universitas. Masing-masing punya indikator yang berbeda. Sedangkan GFSI itu lebih memotret current situation. Jadi sangat berbeda sekali dengan sustainable," katanya.
Sujarwo menambahkan, pembacaan data mengenai food sustainable index adalah memotret potensi jauh ke depan jika kondisi waste dan loss hasil pertaniannya tinggi. Kemudian juga kondisi sustainaible bisa disimpulkan jika ketersediaan air, pencemaran lahan dan masalah gizi terus terjadi.
"Dan ini adalah perhatian yang diperlukan Indonesia untuk lebih baik dalam jangka panjang. Jadi tidak linkage langsung mengukur kinerja pertanian sekarang. Salah besar itu," tutupnya.