Jumat 19 Mar 2021 10:35 WIB

Harga Daging Babi Tinggi di 3 Daerah Akibat Wabah ASF

Ditjen PKH Kementan menyebut masih banyak provinsi sentra babi yang bebas ASF

Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Sentra peternakan babi. Ditjen PKH Kementan menyebut masih banyak provinsi sentra babi yang bebas ASF
Foto:

Ia menambahkan, sebenarnya masih banyak Provinsi dan Kabupaten sentra ternak babi yang bebas ASF. Misalnya di Sulawesi Utara, Kalimantan Barat dan Papua, sehingga terbuka peluang meningkatkan populasi di wilayah tersebut dengan menjaga biosecurity.

Selain itu, upaya Kompartementalisasi Farm juga dapat menjaga Farm tetap bebas dari ASF meskipun di daerah tertular, sehingga usaha peternakan babi dapat terus berjalan. Meskipun memerlukan penerapan biosecurity yang lebih ketat untuk memenuhi syarat kompartemen bebas ASF.

"Kalau nanti produksi ditingkatkan di wilayah yang masih bebas ASF, maka perlu ada fasilitasi untuk distribusi hasil (babi hidup atau produknya) ke wilayah konsumen yang belum bebas ASF. Bisa berupa sarana transport untuk babi hidup atau cold chains untuk produk babi," papar Nasrullah.

Kementan melalui Ditjen PKH juga berupaya melakukan penanggulangan dan pengendalian harga babi. Antara lain, menerbitkan Kepmentan No 820 tahun 2019 tentang pernyataan wabah penyakit AFS pada beberapa kabupaten/kota di 16 kab/kota Provinsi Sumatera Utara untuk mencegah semakin menyebarnya penyakit ASF dengan dilakukan penutupan wilayah.

Kemudian, memberikan bantuan disinfektan, vitamin dan feed additev untuk ternak babi, memberikan bantuan operasional kepada petugas posko, melakukan sosialiasi biosecurity dan bimtek kepada petugas serta peternak.

Lalu melakukan sertifikasi kompartemen bebas penyakit ASF kepada peternakan/farm komersial di Sumut dalam rangka memberikan fasilitas perdagangan antar wilayah. Selaij itu, Pemprov Sumut juga telah mengupayakan pemasukan ternak babi dari wilayah lainnya seperti dari Kalimantan Barat.

Nasrullah menjelaskan, dinamika harga daging babi di Sumut dan dua daerah lainnya di Sumatera diperkirakan terjadi karena ketersediaan dan kebutuhan daging babi yang sebagian penduduknya mengkonsumsi daging babi. Tidak hanya untuk konsumsi rutin namun juga terkait dengan adat istiadat serta kehidupan sosial dan budaya masyarakat.

 

"Ditambah, kondisi adanya wabah penyakit ASF yang terjadi tentunya memberi dampak terhadap kemampuan penyediaan daging babi daerah tersebut. Demikian juga pertambahan jumlah penduduk serta akses memperoleh produk tersebut tentunya mempengaruhi terbentuknya harga," tutur dia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement