Memasuki babak baru di era pandemi, kinerja bisnis di industri telekomunikasi kian menjadi sorotan. Ketergantungan masyarakat pada jasa internet dan konektivitas semakin meningkat seiring kebutuhan untuk bekerja dan belajar dari rumah serta akses ke tayangan hiburan di platform digital.
SEA Regional Business Development Manager Neuro.net, Yustin Noval mengatakan Indonesia dan hampir sebagian besar negara di dunia telah melewati masa tak terprediks di tahun 2020. Saat ini, cara berkomunikasi normal yang baruterbentuk, mengkombinasikan teknologi lama dengan teknologi di era baru.
Yustin memaparkan, perusahaannya menerima peningkatan permintaan terhadap layanan contact center dari beberapa operator telekomunikasi di beberapa negara. "Jika bicara global, perusahaan kami saat ini mencatat kenaikan trafik panggilan sampai tiga puluh persen persen setiap bulannya. Banyaknya permintaan dari pelanggan membuat perusahaan-perusahaan mitra kami juga harus siap ekstra untuk melayani setiap panggilan dengan cepat dan efisien," tuturnya.
Baca Juga: Suka Ngemil? Kamu Wajib Coba 4 Camilan Ini!
Baca Juga: Bantu Kurangi Dampak Negatif Perubahan Iklim, Begini Strategi BRI
Startup pengembang teknologi kecerdasan buatan (Artifical Intelligence - AI) yang berbasis di Amerika Serikat ini memberikan layanan contact center berbasis voice-AI dengan lebih dari sepuluh (10) perusahaan telekomunikasi yang tersebar di lebih dari lima (5) negara.
Meningkatnya trafik panggilan tidak membuat perusahaan menurunkan kualitas layanan pelanggannya, karena agen virtual AI memiliki tingkat produktivitas dan kapasitas hingga dua ratus ribu hingga lima ratus ribu panggilan per hari, bahkan dapat dimaksimalkan hingga jutaan panggilan per hari secara bersamaan.
Pihaknya menyebutkan, agen-agen virtual dari Neuro.net memiliki tingkat kemiripan dan respon yang sangat tinggi layaknya manusia. Pemanfaatan agen virtual bagi perusahaan telekomunikasi sangatlah krusial bagi bisnis dan reputasi perusahaan. Terlebih dengan trafik yang tinggi, teknologi Neuro.net memungkinkan bisnis bisa menjawab pertanyaan sampai memberikan solusi kepada konsumen dengan waktu yang singkat, dan semuanya dioperasikan oleh bot, papar Yustin.
Penggunaan Bot IVR (Interactive Voice Response) umumnya sudah digunakan oleh banyak perusahaan penyedia jasa kecerdasan buatan. Biasanya, Bot IVR berkomunikasi satu arah dan memutar pesan suara yang telah direkam saat pelanggan melakukan panggilan telepon. Namun, kini otomatisasi interaksi terus berkembang dan Neuro.net mengembangkan teknologi yang dapat menjawab pertanyaan atau "bereaksi" terhadap sebuah percakapan kompleks untuk menyesuaikan kebutuhan pada percakapan yang lebih intens lagi.
Teknologi ini didasarkan pada jaringan neural (neural network), pembelajaran mesin (machine learning), dan big data. Agar lebih efisien, ia harus dilatih dengan menggunakan rekaman percakapan telepon asli antar manusia: agen contact center dan konsumen. Rekaman panggilan akan dikodekan, dianalisis, ditandai untuk jaringan neural, untuk selanjutnya dilakukan pelatihan. Jadi, kalau di Indonesia, konsumen mungkin jarang menggunakan kata 'Ya' dan 'Tidak', lumrahnya pakai respon 'Apa' atau 'Oke'. Nah, agen virtual kami bisa merespon dengan sangat beragam seperti tadi lewat pemrosesan ucapan atau Natural Language Understanding (NLU), tambahnya.
NLU membuat percakapan antara bot dan manusia tidak dapat dibedakan, dan terdengar sangat mirip, mulai dari intonasi, jeda, dan responnya. Ditambah lagi dengan pembelajaran mesin (machine learning), agen virtual dapat menjadi lebih baik setiap kali ada percakapan atau skenario baru.
Statistik kami menunjukkan bahwa hanya satu persen konsumen yang dapat membedakan agen virtual AI dengan agen manusia yang sesungguhnya. Tidak seperti IVR "tradisional" yang sistemnya hanya mampu memutar sampel teks yang telah direkam sebelumnya atau mengenali perintah suara, agen virtual saat ini memahami bahasa alami, dapat memahami ucapan manusia, mendeteksi, bahkan meniru emosi, jelas Yustin.
Namun, perlu diingat, kecerdasan buatan tidak untuk menghilangkan peran manusia sama sekali. Justru, dengan mengalihkan sebagian tugas kepada agen virtual, perusahaan bisa mengalokasikan talent manusia lebih banyak ke sektor-sektor yang membutuhkan daya kreatif, analisis dan aspek sosial lainnya, ujarnya.
Yustin menceritakan salah satu mitranya hanya menghabiskan setengah dari biaya contact center konvensional biasa, namun dengan tingkat efisiensi yang sama, dan bahkan lebih tinggi. Mereka adalah perusahaan telekomunikasi terbesar di Eropa Timur yang telah menerapkan agen virtual berbasis AI selama masa pandemi.
Perusahaan tersebut menggunakan agen virtual berbasis AI untuk dua pekerjaan yakni panggilan outbound untuk menawarkan produk terbaru, dan juga mengumpulkan feedback dari konsumen terkait pelayanan perusahaan.
Ternyata, hasil kinerjanya melebihi ekspektasi. Untuk penawaran produk, sistem agen virtual berbasis AI berhasil melakukan lebih dari sepuluh ribu panggilan dengan tingkat konversi sebesar 37 persen, melebihi target utama yakni sebesar 35 persen. Dan sistem berhasil menangani 98 persen dialog pertanyaan feedback dari konsumen tanpa kesalahan.