Bersamaan dengan milestone pasar modal syariah tersebut, tahun 2011 juga menjadi catatan sejarah perubahan pengawasan industri keuangan di Indonesia melalui disahkannya Undang Undang Nomor 21 tentang Otoritas Jasa Keuangan. UU itu menjadi landasan pembentukan OJK yang mendapatkan mandat sebagai otoritas pengawas industri keuangan yang meliputi konvensional dan syariah, termasuk pasar modal syariah.
Dalam satu dekade terakhir, menurut Hoesen, ada banyak rencana-rencana terkait pengembangan pasar modal syariah yang telah berhasil dicapai. Salah satunya dari sisi infrastruktur landasan hukum penerbitan dan transaksi efek.
Selain itu, jumlah saham yang masuk daftar efek syariah pun terus bertambah. Demikian juga jumlah dan variasi produk sukuk. Per 1 April 2021, setidaknya terdapat 452 saham yang masuk DES. Adapun jumlah sukuk syariah mencapai 168 dengan nilai Rp32 triliun.
Dari sisi pelaku industri juga terdapat peningkatan jumlah pelaku yang terlibat dalam penerbitan efek di pasar modal syariah seperti penjamin emisi dan wali amanat yang terlibat penerbitan sukuk korporasi, bank kustodian bagi reksadana syariah, dan perusahaan efek yang menyediakan Sharia Online Trading System (SOTS).
Selain landasan hukum positif berupa Peraturan OJK, Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga cukup banyak menerbitkan fatwa di bidang pasae modal syariah dalam 10 tahun terakhir. Hal ini untuk memberikan keyakinan terhadap aspek kesyariahan di pasar modal.
Fatwa tersebut meliputi efek syariah, saham syariah dan sukuk wakaf, serta Efek Beragun Aset (EBA) syariah. Ada juga fatwa yang diterbitkan sebagai landasan hukum Self Regulatory Organizations (SRO).
"Adanya landasan hukum dan fatwa bisa mendorong perkembangan produk pasar modal syariah," terang Hoesen.