EKBIS.CO, OLEH Sapto Andika Candra
'A blessing in disguise'. Sebuah idiom dalam bahasa Inggris ini barangkali sesuai untuk menggambarkan situasi pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia sejak awal Maret 2020 lalu. Sudah lebih dari satu tahun virus mematikan ini menular dari satu orang ke orang lain, hingga kini total sudah lebih dari 1,6 juta orang Indonesia pernah terkonfirmasi positif.
Memang, pandemi adalah kisah horor bagi banyak orang. Dalam kurun waktu setahun, lebih dari 40 ribu penduduk Indonesia meninggal dunia akibat Covid-19. Jutaan pekerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) atau dirumahkan. Sedangkan jutaan lainnya, meski lebih beruntung karena masih punya penghasilan, tapi ekonomi rumah tangganya limbung. Ada saja imbas yang dirasakan.
Covid-19 benar-benar kabar buruk. Seiring berjalannya waktu, manusia dipaksa untuk beradaptasi dengan pandemi. Pemerintah mencanangkan kampanye protokol kesehatan. Orang-orang diperbolehkan bekerja dari rumahnya. Sekolah pun dilakukan di rumah. Ibadah, juga demikian. Semuanya dilakukan di rumah.
Kondisi tersebut akhirnya membuat nyaris seluruh kegiatan dilakukan secara remote alias jarak jauh. Aktivitas perkantoran mulai diisi dengan zoom-meeting ke zoom-meeting berikutnya. Atau, dari satu google-meet ke google-meet lainnya.
Faktanya, meski pekerjaan tidak dilakukan di kantor, semua hal masih bisa berjalan dengan baik. Ternyata perkara lokasi kerja bukan menjadi masalah yang mutlak. Manusia, kita semua, menjadi jauh lebih sering di rumah.
Rutinitas sehari-hari yang tak pernah jauh dari rumah ini pun membuat pola konsumsi masyarakat berubah. Dari yang sebelumnya serba offline, menjadi serba online. Dari belanja langsung di toko misalnya, menjadi hobi checkout belanjaan di marketplace. Dari yang gemar jajan di restoran favorit, menjadi lebih suka pesan makanan pakai aplikasi.
Sektor perbankan juga kena imbasnya. Nasabah mulai melirik layanan yang serba online. Keberadaan bank digital, yang seluruh layanan sepenuhnya dilakukan melalui 'klik' di satu aplikasi, mulai mendapat tempat. Cara ini lebih aman ketimbang harus antre di bank dan bertemu banyak orang.
Semua contoh di atas, mulai dari sistem kerja WFH, budaya konsumsi yang bergeser, sampai layanan perbankan yang mulai serba-online, adalah bentuk nyata transformasi digital. Perusahaan dipaksa mulai menyesuaikan diri dengan kemauan pasar di tengah pandemi.
Akhirnya, pandemi Covid-19 berhasil memaksa banyak pihak, baik perusahaan, pemerintah, atau instansi non-profit, untuk ikut arus dalam transformasi digital. Semuanya terdigitalisasi. Dalam kurun waktu satu tahun, 2020 ke 2021, masyarakat Indonesia melompat lebih akrab dengan teknologi informasi.
Kondisi inilah yang mungkin pas disebut berkah di balik petaka. A blessing in disguise. Idiom yang tertulis di kalimat pertama tulisan ini. Pandemi Covid-19 laksana katalisator atau pemecut proses transformasi digital di Indonesia. Lompatan digitalisasi yang terjadi cukup signifikan.
Presiden Joko Widodo (Jokowi), dalam sebuah kesempatan pada Februari lalu, sempat menyinggung soal transformasi digital ini. Jokowi mendorong seluruh komunitas digital Indonesia memanfaatkan momentum pandemi Covid-19 saat ini untuk mempercepat transformasi digital. Mulai digitalisasi pemerintahan, ekonomi, sosial, sampai infrastruktur.
"Transformasi digital adalah kunci untuk bertahan di masa pandemi. Baik melalui investasi pembangunan pusat data, mempercepat program literasi digital, dan yang tidak kalah pentingnya adalah pengembangan talent digital secara masif," kata Jokowi, Februari lalu.
Lintasarta Menangkap Peluang
Melihat seluruh tantangan di tengah pandemi ini, Lintasarta sebagai perusahaan Total Solutions Information and Communication Technology (ICT), muncul menangkap peluang. Lintasarta lantas maju untuk menawarkan beragam solusi ICT yang dapat dipakai berbagai sektor industri dalam menghadapi normal baru atau new normal. Pada akhirnya, Lintasarta punya peran dalam mengawal percepatan transformasi digital di Indonesia.
Direktur Utama Lintasarta, Arya Damar, dalam sebuah kesempatan pada medio 2020 lalu sempat merinci bahwa solusi yang ditawarkan Lintasarta menyasar banyak sektor, termasuk perusahaan digital, perbankan, keuangan nonbank, supply chain, sumber daya alam, perhotelan, kesehatan, pendidikan, transportasi, bahkan pemerintahan.
"Lintasarta sudah menyiapkan solusi-solusi ICT yang memadai dan siap digunakan oleh para pelaku industri untuk kembali menjalankan bisnis di tengah pandemi. Beberapa produk lain dari group akan kami kolaborasikan agar dapat menjadi solusi lengkap dari tantangan yang dihadapi," kata Arya.
Beberapa contoh solusi yang ditawarkan Lintasarta bagi sektor industri antara lain, pengembangan telemedicine yang mulai banyak dimanfaatkan masyarakat, peluang konser daring di industri hiburan, hingga penerapan layanan serba-digital bagi tamu hotel demi mengurangi kontak dengan pegawai.
Produk-produk yang diusung Lintasarta untuk ditawarkan kepada mitra dalam menghadapi new normal, antara lain Lintasarta Mobil Workforce VPN, Thermal Monitoring dan Mask Detection, Internet Dedicated, dan Digital Queuing System.
Sementara itu, Direktur IT Services Lintasarta Ginandjar Alibasjah menambahkan, perusahaan-perusahaan harus punya strategi jitu dalam menjalankan transformasi digital. Apalagi, menurutnya, perusahaan yang sudah punya sistem layanan 'jadul' harus bersaing dengan perusahaan rintisan (startup) masa kini yang sudah terlahir langsung dengan konsep serbadigital.
"Perusahaan berlomba dengan yang native-nya digital. Digital ini bisa berikan solusi dari apa yang diinginkan oleh pelanggan. Kalau kita perusahaan tidak mengadopsi itu dan kemudian hadir yang native digital, kita disrupt," kata Ginandjar dalam sebuah diskusi di akun resmi media sosial Lintasarta.
Menurutnya, transformasi digital adalah proses jangka panjang yang harus dilakukan oleh perusahaan. Jalan yang cukup panjang ini, menurutnya, harus dilakukan dengan mitra eksternal yang punya pengalaman dan keahlian mumpuni dalam hal digitalisasi sistem. Salah satunya, Lintasarta.
"Pandemi ini mempercepat seluruh proses transformasi digital. Banyak perusahaan membuat road map digitalisasi. Digitalisasi bukan sekadar meng-online-kan atau mengubah pekerjaan dari kantor to anywhere. Namun kita harus melakukan perubahan menyeluruh," kata Ginandjar.
Menurutnya, ada tiga area yang perlu menjadi fokus bagi perusahaan dalam melakukan trasnformasi digital. Pertama, costumer experience. Perusahaan harus tahu apa maunya konsumen dan layanan baru apa yang bisa menjawab kebutuhan mereka.
"Kalau bisa pelanggan lakukan semua dari satu genggaman. Mulai dari payment, ordering, kerja, dan lainnya. Artinya costumer experience area harus disesuaikan agar bisa memenuhi karakteristik pelanggan," ujarnya.
Kedua, operasional. Di area operaisonal ini, perusahaan harus mampu memanfaatkan teknologi digital yang berfungsi meningkatkan produktivitas, menghemat biaya, dan mempercepat proses kerja.
"Intinya dari sisi operasional harus dikaji betul mana yang paling optimal dengan mengadopsi teknologi digital," katanya
Sementara area ketiga adalah model bisnis. Perusahaan yang menjalankan transformasi digital, menurut Ginandjar, harus mau mengevaluasi seluruh model bisnisnya. Lantas, ujarnya, disesuaikan dengan kebutuhan di tengah pandemi ini.
Dari semua area tersebut, Lintasarta memiliki keahlian spesifik yang memberikan solusi bagi perusahaan yang ingin menjalankan transformasi digital. Lintasarta telah melayani lebih dari 2.400 pelanggan korporasi dengan lebih dari 35.000 jaringan, meliputi layanan komunikasi data fiber optic, jaringan satelit, managed security and collaboration, data center and DRC, cloud computing, managed services, hingga e-health.