EKBIS.CO, JAKARTA -- Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo menyampaikan tiga hal yang terjadi sejak lama pada PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Hal-hal ini yang pada akhirnya membuat Jiwasraya mengalami persoalan. Dari sisi fundamental, pria yang akrab disapa Tiko itu menyebut Jiwasraya mempunyai masalah solvabilitas dan likuiditas yang sudah terjadi sejak lama dan tidak pernah diselesaikan.
Untuk menyelesaikan masalah solvabilitas, manajemen lama Jiwasraya melakukan window dressing pada laporan keuangan, kebijakan reasuransi, dan revalsuasi aset sejak 2008 sampai 2017. Dalam menyelesaikan masalah likuditas, lanjut Tiko, manajemen menerbitkan produk asuransi yang bersifat investasi dan bergaransi bunga tinggi yang sangat buruk untuk kondisi perusahaan di masa yang akan datang.
"Persoalan kedua, adanya reckless investment activities (kegiatan investasi nekat) yang tidak ada portofolio guide invetsasi yang mengatur investasi pada high risk asset sehingga dengan kondisi pasar saat ini, mayoritas aset investasi perusahaan tidak dapat diperjualbelikan atau hanya dapat dijual dengan nilai yang sangat rendah," ujar Tiko dalam acara IFG Progres di Jakarta, Rabu (28/4).
Persoalan ketiga, ucap Tiko, adalah penurunan kepercayaan nasabah karena produk saving plan yang menyebabkan pencairan dan penurunan penjualan. Tiko menilai Jiwasraya tidak memiliki kecukupan cadangan aset untuk penuhi kewajiban dengan rasio kecukupan investasi hanya 28 persen pada 2017 dan menyebabkan gagal bayar dan utang klaim atas para pemegang polis saving plan.
Kata Tiko, kondisi ini berakibat pada tekanan likuiditas perusahaan yang mana mayoritas aset yang dimiliki saat ini tidak memiliki nilai dan tidak likuid sehingga produk saving plan harus dihentikan penjualannya karena sudah gagal bayar dan sudah bersifat ponzi.
"Kemudian, adanya penurunan pendapatan investasi dan sejak 2017 nilai klaim dan manfaat meningkat drastis," ungkap Tiko.
Selain itu, lanjut Tiko, solvabilitas perusahaan juga melemah yang ditunjukkan dengan nilai aset yang tidak sesuai dengan nilai pasar dan harus dilakukan impairment aset secara mendalam dengan negatif ekuitas sebesar Rp 38,6 triliun dan negatif RBC sebesar minus 1003,7 persen per Desember 2020.
"Dibutuhkan tambahan admitted aset untuk mencapai RBC minimal yang disyaratkan oleh regulator dan kebtuhan cadangan likuiditas," lanjut Tiko.
Tiko menyampaikan tekanan likuiditas dan solvabilitas yang melemah dapat terlihat pada kondisi laporan keuangan Jiwasraya 2020 yang mana total liabilitas mencapai Rp 54,5 triliun dengen kecenderungan meningkat terus dan nilai aset hanya sebesar Rp 15,7 triliun dengan mayoritas aset tidak likuid dan berkualitas buruk. Pun dengan delay payment sebesar Rp 20 triliun.
"Kondisi aset yang berkualitas buruk dan pengeluaran produk yang tidak optimal membuat Jiwasraya memiliki defist likuiditas sebesar Rp 38,6 triliun. Nilai yang sangat fantastis," kata Tiko.