EKBIS.CO, JAKARTA — IMF telah mempreteli kemampuan Indonesia menjaga stabilitas harga pangan melalui Bulog. Kondisi ini diperparah dengan kebijakan pemerintah, yang tidak menjadikan pangan sebagai komoditas strategis.
Ekonom INDEF Dradjad Wibowo mengatakan, selama dua dekade terakhir ini, keberpihakan terhadap produksi pertanian jauh melemah. Pangan tidak lagi diperlakukan sebagai komoditas strategis.
Sementara, kemampuan stabilisasi harga jauh merosot karena kewenangan dan kemampuan finansial Bulog sudah sangat dipreteli. Pemretelan Bulog ini merupakan salah satu butir krusial dalam Letter of Intent antara IMF dan Indonesia.
"Dengan kata lain, IMF mempreteli kemampuan Indonesia menjaga stabilitas harga pangan melalui Bulog. Harga di tingkat petani sering anjlok jauh lebih drastis saat panen raya,” kata Dradjad, Senin (3/5).
Penempatan kebijakan pangan pada masa Soeharto, menurut Dradjad, berbeda dengan pemerintah sekarang. Menurutnya, komoditas pangan pokok dipandang sebagai komoditas strategis. Kegagalan menjamin pasokannya dari produksi nasional dianggap sebagai ancaman strategis bagi polhankam nasional. Kegagalan menjaga stabilitas harga pangan dipandang sebagai ancaman bagi stabilitas nasional, baik melihat dari sisi ekonomi, kesejahteraan rakyat, maupun lebih serius lagi dari sisi polhankam.
Lemahnya keberpihakan terhadap produksi pertanian (dibandingkan jaman pak Harto), menurut Dradjad, membuat produksi pangan Indonesia tumbuh lambat, stagnan, atau bahkan merosot. "Sering anjloknya harga di tingkat petani makin mempercepat konversi lahan pertanian yang subur di Jawa dan Bali menjadi lahan perumahan dan nonpertanian lainnya,” ungkap Ketua Dewan Pakar PAN ini.
Kondisi ini diperparah dengan lemahnya keberpihakan terhadap riset dan inovasi pertanian dan pangan, rendahnya kepemilikan dan pengelolaan lahan per keluarga tani. Ini membuat produktivitas pangan Indonesia jauh lebih rendah dari Thailand dan Vietnam sehingga biaya pokok dan harga jualnya pun lebih mahal.
Padahal, dengan pertumbuhan penduduk dan pendapatan per kapita Indonesia, otomatis kebutuhan pangan naik dengan cepat. Kenaikan ini jauh lebih cepat dari kenaikan produksi pangan, apalagi sebagian produksi tersebut stagnan.
”Itulah permasalahan mengapa Indonesia jauh lebih bergantung pada impor pangan, bahkan tergolong doyan impor selama dua dekade terakhir,” papar Dradjad. Produksi tidak mencukupi konsumsi sehingga mau tidak mau harus impor pangan agar harga stabil.
Di sisi lain, Dradjad menambahkan, selisih harga yang besar tersebut membuat impor menjadi bisnis yang super menggiurkan. "Itu sebabnya hampir tiap tahun kita melihat keributan soal pengaturan kuota impor pangan, sampai tidak sedikit elite politik yang ditahan KPK,” kata Dradjad. Karena, kuota impor pangan sama dengan fulus besar.
Berdasar hitungan Dradjad, harga CIF beras ex-Vietnam jatuhnya sekitar Rp 7.738/kg. Tambah bea masuk, biaya gudang, dan sebagainya, harga pokok beras eks-Vietnam jatuh pada kisaran Rp 8.500/kg.
Sementara, berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional pada bulan April 2021 harga beras kualitas medium di pasar adalah Rp 13.350-13.600/kg.
"Harga pokok di atas ternyata sekitar 62,5 persen-64 persen dari harga eceran beras kualitas medium. Selisih harganya sangat fantastis sekitar Rp 5.000/kg,” kata Dradjad.