Jumat 11 Jun 2021 11:06 WIB

Tolak Rencana Pajak Sembako,Petani Tebu Siap Demo ke Jakarta

Komoditas gula konsumsi termasuk barang kebutuhan pokok yang akan dikenai pajak.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Petani memanen tebu untuk diolah menjadi gula (ilustrasi). Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) secara tegas menolak rencana pemerintah mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) pada bahan pokok (sembako)ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/hp.
Foto: Iggoy el Fitra/ANTARA FOTO
Petani memanen tebu untuk diolah menjadi gula (ilustrasi). Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) secara tegas menolak rencana pemerintah mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) pada bahan pokok (sembako)ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/hp.

EKBIS.CO,  JAKARTA – Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) secara tegas menolak rencana pemerintah mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) pada bahan pokok (sembako) yang tertuang dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Sekjen APTRI, Nur Khabsyin, meminta kebijakan itu dikaji ulang karena akan memberatkan kehidupan petani. "Saya kira perlu dikaji ulang. Apalagi, saat ini masa pandemi dan situasi perekonomian sedang sulit. Ini akan berimbas ke seluruh Indonesia dan membuat gaduh masyarakat, terutama masyarakat petani," kata Khabsyin, dalam keterangannya yang diterima Republika.co.id, Jumat (11/6).

Diketahui, dalam draf beleid tersebut komoditas gula konsumsi menjadi salah satu barang kebutuhan pokok yang dihapus dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN.

Dengan penghapusan tersebut, berarti gula konsumsi akan dikenakan PPN. Sebetulnya, sebelum tahun 2017 gula konsumsi sudah dikenakan PPN. Namun, petani tebu memprotes melalui unjuk rasa di Jakarta sehingga sejak 1 september 2017 gula konsumsi dibebaskan dari PPN.

Khabsyin mengatakan, saat itu petani beralasan bahwa gula adalah termasuk bahan pokok mengapa kena PPN, sedangkan  beras bebas dari PPN. Pengenaan PPN, kata Khabsyin, dipastikan akan merugikan seluruh petani tebu yang di Indonesia. Sebab, pengenaan PPN terhadap gula konsumsi pada ujungnya akan menjadi beban petani sebagai produsen.

“Pedagang akan membeli gula tani dengan memperhitungkan beban PPN yang harus dibayarkan. Ini tentu akan berdampak pada harga jual gula tani,” ujar Khabsyin.

Khabsyin mencontohkan saat ini harga jual gula di tingkat petani hanya laku Rp 10.500 per kg. Apabila dikenakan PPN 12 persen, yang diterima petani tinggal Rp 9.240 per kg. Menurutnya, harga itu jauh di bawah biaya pokok produksi sebesar Rp 11.500 per kg. Padahal, tahun 2020  gula tani laku Rp 11.200 per kg tanpa ada PPN.

Salah satu dasar pengenaan PPN sembako karna pemerintah (menkeu) menilai saat ini harga pangan naik 50  persen sehingga ada kenaikan nilai tukar petani (NTP). "Ini jelas pernyataan yang  ngawur, justru sekarang ini harga pangan turun, contohnya harga gula konsumsi turun dibanding tahun lalu karena impor kebanyakan dan daya beli menurun. Kalau terpaksa menarik PPN, seharusnya pada gula milik perusahaan-perusahaan/pabrik gula karena mereka sebagai pengusaha kena pajak (PKP), jangan gula milik petani," katanya menambahkan.

Selama ini petani tebu sudah dihadapkan pada beragam kebijakan yang memberatkan, seperti pengurangan subsidi pupuk, rendahnya HPP gula, hingga maraknya gula impor yang beredar di pasaran. Hal tersebut sudah membuat petani tebu menjadi tertekan. 

"Ibaratnya petani sudah jatuh tertimpa tangga. kalau PPN dipaksakan, petani siap demo ke jakarta," ujarnya.

Ia pun mengingatkan, sebelumnya pemerintah telah mengeluarkan kebijakan membebaskan PPN barang mewah nol persen terhadap mobil untuk menggairahkan perekonomian agar dapat bangkit kembali sehingga daya beli masyarakat meningkat.

"Seharusnya para petani diberi stimulus karena sudah bersusah payah menyediakan pangan nasional, bukan malah dibebani  PPN," ujarnya. 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement