EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintah mencatat total utang pemerintah sebesar Rp 6.418,15 triliun per akhir Mei 2021. Adapun posisi tersebut naik 22 persen dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar Rp 5.258,57 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, total utang tersebut turun jika dibandingkan posisi April 2021 sebesar Rp 6.527,29 triliun. Secara rinci, utang pemerintah itu terdiri atas surat berharga negara (SBN) sebesar Rp 5.580,02 triliun atau 86,94 persen dari total utang.
“Pinjaman sebesar Rp 838,13 triliun atau 13,06 persen dari keseluruhan utang pemerintah sampai akhir Mei lalu,” ujarnya saat acara Foresight Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), seperti dikutip Rabu (16/6).
SBN terdiri atas domestik atau berdenominasi rupiah sebesar Rp 4.353,56 triliun, terdiri dari surat utang negara (SUN) sebesar Rp 3.606,07 triliun dan surat berharga syariah negara (SBSN) sebesar Rp 747,49 triliun. Sedangkan, SBN valas atau berdenominasi mata uang asing sebesar Rp 1.226,45 triliun, yang terdiri SUN sebesar Rp 984,20 triliun dan SBSN sebesar Rp 241,25 triliun.
Adapun pinjaman pemerintah terdiri atas pinjaman dalam negeri sebesar Rp 12,32 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar Rp 825,81 triliun. Pinjaman luar negeri ini terdiri atas pinjaman bilateral sebesar Rp 316,59 triliun, multilateral sebesar Rp 465,52 triliun, serta commercial bank sebesar Rp 43,46 triliun.
Sri Mulyani menjelaskan, tren kenaikan utang terjadi hampir di seluruh negara. Hal ini disebabkan langkah extraordinary yang diambil setiap negara, termasuk Indonesia, untuk penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional.
“Ini sebabkan tren utang negara meningkat saat ekonomi menurun merosot, kita lakukan kebijakan fiskal yang countercyclical dengan meminjam dan gunakan dana pinjaman untuk meminimalkan kontraksi ekonomi, namun itu dilakukan semua negara di dunia,” ucapnya.
Menurutnya, pelebaran defisit fiskal juga menyebabkan kenaikan jumlah utang pemerintah dan menjadi risiko yang harus dihadapi. Pemerintah memastikan akan terus mewaspadai ketidakpastian di pasar keuangan global, yang berdampak pada kenaikan imbal hasil surat utang pemerintah AS atau US Treasury.
“Hal ini juga akan mempengaruhi kenaikan yield SBN,” ucapnya.
Kendati demikian, menurutnya, kenaikan ini diwaspadai, terutama dikaitkan dengan tren kenaikan suku bunga yang terjadi di AS, meski kita lihat kenaikan yield 10 tahun AS mendekati 70 persen dalam tiga bulan terakhir.
“SBN kita kenaikan relatif modest sisi yield, ini tunjukkan resiliensi dan hasil yang baik,” ucapnya.