Bank Dunia mengungkapkan beberapa alasan mengapa Indonesia masih kesulitan menciptakan lapangan kerja berstatus menengah (middle-class jobs). Pertama, transformasi struktural yang terjadi tidak meningkatkan produktivitas pekerjanya, sehingga penciptaan lapangan kerja menengah sulit terwujud.
“Kedua, struktur ekonomi Indonesia belum kondusif dalam menciptakan lapangan kerja menengah. Sebanyak 2/3 pekerjaan merupakan usaha rumah tangga dengan 45 juta pemilik dan 38 juta pekerja, dimana hampir semuanya berstatus informal," tulis laporan Bank Dunia.
Selanjutnya sektor formal juga ternyata sulit menciptakan pekerjaan menengah ini. Padahal terdapat sektor potensial yaitu sektor manufaktur, kendati penciptaan lapangan kerja terjadi hanya di perusahaan yang tua dan besar saja. Perusahaan baru memiliki kesulitan dalam bertumbuh dan merekrut pekerja baru.
Ketiga, kurangnya kemampuan (skill) pekerja dapat masuk ke ranah pekerjaan menengah. Adapun pekerjaan menengah cenderung membutuhkan skill khusus berupa kemampuan berpikir yang kuat, kemampuan interpersonal dan kemampuan digital, diimbangi dengan wawasan bidang sains, teknologi, teknik, matematika atau administrasi bisnis.
"Namun, per 2018, hampir 60 persen pekerja hanya bersekolah sembilan tahun atau bahkan kurang," tulis laporan tersebut.
Pekerja perempuan dan pemuda juga mengalami hambatan dalam berkarir di pasar tenaga kerja. Adapun partisipasi pekerja perempuan cenderung sama sejak 1991 hingga 2021 pada kisaran 50 persen saja.
"Dan di dunia kerja, sebagian besar pekerja perempuan mendapatkan gaji dan benefit 25 persen lebih rendah dari pekerja laki-laki meski beban pekerjaannya sama," tulis laporan Bank Dunia.