Ahad 01 Aug 2021 17:26 WIB

Beban Berat APBN dan Utang Pemerintah

Pembiayaan utang untuk 2020 mencapai Rp 1.039,22 triliun, melonjak 158,4 persen

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Gita Amanda
Ekonom, Politikus, dan juga mantan menteri keuangan Fuad Bawazier membandingkan krisis moneter lalu dengan krisis pandemi saat ini yang serupa tapi tak sama. (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Ekonom, Politikus, dan juga mantan menteri keuangan Fuad Bawazier membandingkan krisis moneter lalu dengan krisis pandemi saat ini yang serupa tapi tak sama. (ilustrasi)

EKBIS.CO, JAKARTA -- Konsekuensi dari pelebaran defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada 2020 membuat melonjaknya nilai pembiayaan utang. Merujuk pada Peraturan Presiden nomor 72 tahun 2020, pembiayaan utang untuk 2020 mencapai Rp 1.039,22 triliun, melonjak 158,4 persen dibanding tahun sebelumnya.

Ekonom, Politikus, dan juga mantan menteri keuangan Fuad Bawazier membandingkan krisis moneter lalu dengan krisis pandemi saat ini yang serupa tapi tak sama. Saat krisis moneter, Indonesia termasuk kelompok negara terakhir yang keluar dari krisis.

Baca Juga

"Sekarang pun sepertinya kita akan sering mengalami resesi ekonomi, dan bisa jadi negara terakhir juga yang keluar pandemi," katanya dalam Forum Guru Besar dan Doktor INDEF dengan tajuk "Ekonomi Politik APBN, Utang dan Pembiayaan Pandemi Covid-19" yang digelar virtual, Ahad (1/8).

Kebijakan pemerintah dinilai tidak stabil sehingga menyebabkan efek krisis ekonomi yang berkepanjangan. Penanganan pandemi yang setengah-setengah membuat dana APBN yang dihimpun dari hutang pun menjadi 'mubazir'.

Belum lagi penyerapan anggaran untuk penanganan Covid-19 di daerah yang sangat minim. Ditambah dengan kebocoran fatal karena korupsi. Ini membuat roda ekonomi tidak berputar seperti yang diharapkan, sementara hutang sangat bengkak.

"Dengan hutang itu lama-kelamaan bisa jebol, ini akan terjadi krisis gagal bayar," katanya.

Managing Director Political Economy and Policy Studies, Anthony Budiawan juga menyebut Indonesia sudah memasuki tahapan krisis karena indikasi pemerintah sudah menaikkan pajak. Rasio penerimaan perpajakan terus menurun dari 10,68 persen sebelum pandemi menjadi 8,69 persen. Di tambah dengan risiko turunnya harga komoditas yang akan memasukan APBN dalam krisis yang semakin dalam.

"Penerimaan negara cenderung sulit meningkat lagi, ini sangat tergantung dengan harga komoditas yang bisa turun karena pengaruh kondisi global nanti," katanya. Ini membuat pemerintah menggenjot penerimaan dari pajak.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement