Selain mengusulkan kenaikan PPN, Menurut Christine, pemerintah untuk azas keadilan, sedang mempertimbangkan pengenaan PPN 12 persen dan 15 persen atau dengan sistem multi tarif. Untuk produk dan jasa tertentu, akan dikenakan PPN sebesar 12 persen. Sedangkan untuk jasa dan produk yang lainnya akan dikenakan PPN sebesar 15 persen.
Ia menyebut pengenaan PPN dengan multi tarif, argumentasi dari pemerintah adalah untuk meningkatkan keadilan. Menurut pemerintah akan ada tarif yang special seperti misalnya beras kualitas prima dari luar negeri akan dikenakan tarif PPN yang lebih tinggi dibandingkan beras dalam negeri yang sama sama dijual di supermarket kelas atas.
"Sementara penjualan beras di pasar tradisional tidak dikenakan pajak. Alasannya untuk menunjukkan keadilan. Namun demikian, penerapan sistem multi tarif akan menimbulkan administrasi yang lebih rumit. Apakah kita sudah siap menerapkan PPN Multi Tarif?," ucap Christine.
Sebagai pengamat dan peneliti ekonomi, Christine mengaku lebih setuju dengan pengenaan PPN single tarif. Yakni 12 persen untuk semua jenis obyek pajak jasa maupun produk. Alasannya, karena sistem ini lebih sederhana dan mudah diterapkan oleh pemerintah maupun pihak lain.
“Multi tarif akan menimbulkan inefisiensi sebab biaya administrasinya lebih tinggi. Kalau sistem perpajakan kita sudah oke, kita bisa menerapkan multi tarif. (Hanya) Apakah core tax kita sudah siap atau belum (untuk menerapkan multi tarif). Meski pada tahun 2024 akan diterapkan coretax. Apakah kita sudah siap untuk menerapkan multi tarif,” urai Christine.
Pendapat senada disampaikan, dosen yang juga peneliti Pusat Pengkajian Kebijakan Ekonomi Universitas Brawijaya Malang, Imanina. Menurutnya, di masa pandemi Covid 19 ini tak dapat dipungkiri, penerimaan negara mengalami tekanan berat.
Hampir semua sektor perekonomian mengalami pelemahan dan menyebabkan penerimaan perpajakan tidak optimal. Imanina menilai cukup bijak jika pemerintah menaikkan PPN Sebesar 12 persen dan memperluas tax base (basis barang dan jasa yang akan dikenakan pajak).
“Dalam upaya memperluas basis pajak di masa pandemi ini, ada dua hal penting yang perlu diperhatikan. Pertama, perlu kecermatan untuk memilah sektor mana saja yang tidak terdampak dan sektor mana saja yang terdampak pandemi. Hal itu menjadi perhatian penting dalam upaya memperluas basis pajak di masa pandemi,”papar Imaninar.
Kedua, adalah waktu atau timing. Menurut Imaninar, ada beberapa kebijakan yang sebetulnya berpotensi untuk menjadi opsi diversifikasi pajak, namun belum bisa diterapkan di masa pandemi saat ini karena sektor tersebut misalnya masih terdampak dan butuh dukungan pemerintah.
“Diversifikasi penerimaan pajak, seperti pajak carbon maupun kenaikan PPN sebenarnya dapat saja diterapkan asalkan pada waktu yang tepat agar kebijakan tersebut memberikan hasil yang optimal. Terutama bagi kenaikan PPN, hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah barang/jasa yang akan dibebani pajak tersebut harus tepat sasaran, karena tidak semua barang/jasa di Indonesia dapat dikenakan tarif yang sama untuk menciptakan keadilan,”papar Imaninar.