EKBIS.CO, JAKARTA -- Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) melakukan kajian terhadap lonjakan utang negara saat pandemi. Disebutkan, bunga utang pemerintah nyaris setara dengan Dana Perlindungan Sosial bagi penduduk miskin.
Peneliti Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Siti Nur Rosifah menyoroti alokasi anggaran untuk pembayaran bunga utang pada RAPBN 2022 yang mencapai Rp 405,9 triliun. "Angka tersebut nyaris setara dengan seluruh alokasi anggaran untuk perlindungan sosial untuk lebih dari 160 juta masyarakat miskin," katanya dalam keterangan pers, Jumat (27/8).
Alokasi untuk pembayaran bunga utang sebesar Rp 405,9 triliun terdiri dari Pembayaran Bunga Utang Dalam Negeri sebesar Rp 393,7 triliun dan Pembayaran Bunga Utang Luar Negeri Rp 12,2 triliun. Sedangkan alokasi untuk perlindungan sosial (Perlinsos) mencakup dana Perlinsos Umum (Kartu Sembako, Subsidi Listrik, LPG dan BBM, Bantuan Iuran PBI-JKN, BLT Dana Desa, dll), Perlinsos Ibu Hamil dan Balita (PKH), Perlinsos Usia Sekolah (PKH, PIP), Perlinsos Usia Produktif (Kartu Pra Kerja, KIP Kuliah, Subsidi KUR, dll) dan Perlinsos Lansia (PKH) yang jika ditotal mencapai Rp 427,5 triliun.
Nur Rosifah mengatakan keberpihakan anggaran pada penduduk miskin justru semakin memburuk di kala krisis. Menurutnya, tidak terlihat kemauan dan keberanian politik yang memadai untuk memprioritaskan keselamatan dan kesejahteraan masyarakat di masa pandemi.
Nur Rosifah menambahkan beban bunga utang melonjak dari 17,9 persen dari penerimaan perpajakan pada 2019, menjadi 24,4 persen dari penerimaan pajak pada 2020. Nilai tersebut jauh diatas batas aman di kisaran 7 persen hingga 10 persen.
“Dengan seperempat penerimaan perpajakan habis hanya untuk membayar beban bunga utang saja, maka ruang fiskal yang tersisa menjadi sangat terbatas, dan ke depan, angka ini masih berpotensi meningkat,” tutur Nur Rosifah.
IDEAS memproyeksikan beban bunga utang akan berada di kisaran 30 persen dari penerimaan perpajakan pada tahun 2024. Menurut Nur Rosifah doktrin yang menjadi justifikasi hal tersebut adalah utang harus dibayar, apapun kondisi awal dari utang, untuk apa utang digunakan dan sedarurat apapun kondisi gagal bayar.
Menjaga reputasi di hadapan kreditor menjadi kredo suci. Repayment rule menjadi benteng kokoh pemerintah untuk selalu berutang dan mengakumulasinya sepanjang waktu.
"Paradoks terbesar selanjutnya yang dikukuhkan RAPBN 2022 adalah semakin minimnya dukungan fiskal untuk sektor kesehatan," katanya.
Dengan wabah yang masih mengganas dan tersebar semakin merata ke penjuru negeri, semakin rendahnya anggaran kesehatan adalah sangat memprihatinkan. Ketika pemerintah melakukan pembayaran bunga utang untuk investor hingga 2,3 persen dari PDB pada RAPBN 2022, di saat yang sama sektor kesehatan yang merupakan garda terdepan perang melawan pandemi hanya menerima alokasi 0,8 persen dari PDB.
Nur Rosifah menjelaskan beban utang yang semakin menghimpit tercermin dari rasio antara cicilan pokok dan bunga utang dengan penerimaan perpajakan. Ini mencerminkan pendapatan pemerintah yang sesungguhnya.
Beban cicilan pokok dan bunga utang melonjak dari kisaran 30,8 persen dari penerimaan perpajakan pada 2015 menjadi 73,7 persen dari penerimaan perpajakan pada 2021. Nilai tersebut jauh diatas batas aman di kisaran 25-35 persen.
“Dengan kini hampir tiga per empat penerimaan perpajakan diprioritaskan untuk membayar beban bunga utang dan cicilan pokok utang yang jatuh tempo, maka ruang fiskal yang tersisa menjadi sangat terbatas,” kata Nur Rosifah.
Dengan besarnya porsi belanja terikat pemerintah yang merupakan non-discretionary expenditure, maka belanja untuk stimulus fiskal dan perlindungan sosial yang dibawah diskresi pemerintah. Ini seringkali harus dibiayai dengan utang.
"Atas nama rakyat kemudian defisit anggaran dilakukan, pembuatan utang baru menjadi terbenarkan dan bahkan seolah menjadi tugas mulia, terlebih kini di masa pandemi,” tutup Nur Rosifah.