EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintah memberikan insentif keringanan pajak penghasilan (PPh) bunga obligasi bagi investor domestik dan bentuk usaha tetap. Hal ini untuk lebih mendorong pengembangan dan pendalaman pasar surat utang melalui kebijakan pajak yang mendukung.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan terbitnya PP ini merupakan bukti bahwa pemerintah terus melakukan reformasi struktural dalam rangka meningkatkan investasi dan produktivitas yang salah satunya dilaksanakan melalui UU Cipta Kerja.
“Sebelumnya, pemerintah juga telah memberi keringanan tarif pajak bagi investor asing,” ujarnya dalam keterangan resmi, Jumat (3/9).
Pemerintah terus menjaga momentum pemulihan melalui tiga kebijakan yang menjadi game changer pemulihan ekonomi pada 2021 yaitu prioritas intervensi yang terarah untuk menanggulangi krisis kesehatan, kebijakan fiskal terutama program PEN untuk menjaga daya beli masyarakat dan keberlangsungan dunia usaha, serta reformasi struktural.
Salah satu upaya reformasi struktural tercermin dalam UU Cipta Kerja yang terdiri dari 11 bidang atau klaster dan tertuang ke dalam lebih dari 50 peraturan pemerintah hingga saat ini. Dalam klaster kemudahan berusaha, Pemerintah salah satunya memberikan keringanan pajak.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman menambahkan pemerintah telah terlebih dahulu menurunkan tarif PPh Pasal 26 atas penghasilan bunga obligasi yang diterima Wajib Pajak Luar Negeri atau WPLN selain Bentuk Usaha Tetap (BUT) dari yang sebelumnya 20 persen menjadi 10 persen atau sesuai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang mulai berlaku Agustus 2021. Selanjutnya, melalui PP terbaru, Pemerintah menurunkan tarif PPh bunga obligasi bagi WPDN juga.
Dengan PP ini, tarif PPh Pasal 4 ayat (2) UU PPh atas penghasilan bunga obligasi WPDN turun dari 15 persen ke 10 persen. Kini, tarifnya menjadi sama ringannya dengan WPLN. Penurunan tarif ini merefleksikan upaya pemerintah dalam menciptakan kesetaraan (level of playing field) dan keadilan bagi seluruh investor obligasi.
“Janji pemerintah untuk merevisi PP No.55/2019 tentang Perubahan Kedua atas PP 16/2009 tentang PPh Bunga Obligasi agar tercipta kesetaraan dan keadilan bagi seluruh kelompok investor terealisasi dengan disahkannya PP 91/2021,” ucapnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, pasar obligasi Indonesia tumbuh cukup baik, tetapi masih memerlukan dorongan. Hal ini terlihat dari kapitalisasi pasar obligasi (swasta dan Pemerintah) terhadap PDB Indonesia (30,6 persen) masih rendah dibandingkan dengan negara ASEAN-5 lainnya: Malaysia (122,7 persen), Singapura (79,9 persen), Thailand (69,6 persen), dan Filipina (49,4 persen), dikutip dari data Asia bonds online, ADB.
Lebih lanjut, Febrio menilai pasar obligasi Indonesia sangat potensial. "Pemerintah Indonesia ingin memastikan bahwa para investor dapat memanfaatkan keringanan pajak ini untuk berinvestasi dalam instrumen obligasi baik SBN maupun korporasi,” tambah Febrio.
Salah satu investor yang ditargetkan meningkat dengan adanya keringanan pajak ini adalah partisipasi investor ritel. Per 31 Agustus 2021, komposisi investor domestik ritel (individu) pada pasar SBN masih kecil sebesar 4,5 persen bila dibandingkan dengan bank sebesar 33,4 persen, asuransi dan dana pensiun sebesar 14,5 persen, serta asing sebesar 22,4 persen.
Dengan penurunan tarif tersebut, peran investor domestik, termasuk investor individu, dalam menyediakan sumber pembiayaan dan mengurangi ketergantungan pada pendanaan luar negeri diharapkan dapat meningkat. Hal ini senada dengan kebijakan untuk WPLN sebelumnya yang menjadikan tarif pajak untuk obligasi kita sama kompetitifnya dengan negara-negara ASEAN-5 yang juga berada angka 10 persen.
Saat ini, Indonesia sedang membutuhkan investasi yang besar baik dari dalam maupun luar negeri untuk membiayai pembangunan. Berdasarkan RPJMN 2020-2024, pembiayaan kebutuhan investasi pada tahun 2020-2024 diupayakan dengan pendalaman sektor keuangan baik bank maupun nonbank, antara lain melalui peningkatan inklusi keuangan, perluasan inovasi produk keuangan, pengembangan infrastruktur sektor jasa keuangan, dan optimalisasi alternatif pembiayaan.
Meningkatnya partisipasi investor baik dalam maupun luar negeri dalam pasar obligasi pada gilirannya akan membuat pasar keuangan semakin dalam. Alhasil, Febrio mengatakan akses pembiayaan sektor keuangan bagi dunia usaha semakin terbuka dan alternatif pembiayaan non-APBN bagi pembangunan semakin bertambah.
Arus modal yang masuk juga akan mendatangkan cadangan devisa yang lebih lanjut memperkuat posisi nilai tukar.