Selasa 21 Sep 2021 15:26 WIB

CIPS Dorong Pelonggaran Impor Jagung demi Kestabilan Harga

Produsen ayam saat ini harus membayar dua kali lipat untuk jagung.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolandha
Peternak ayam petelur Suroto (tengah) bersama perwakilan dari Sekretariat Presiden menunjukkan kondisi jagung bantuan dari Presiden Joko Widodo saat penyerahan di Blitar, Jawa Timur, Senin (20/9/2021). Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), menilai, aturan untuk mengimpor jagung perlu dilonggarkan untuk menjaga kestabilan harga pakan.
Foto: ANTARA/Irfan Anshori
Peternak ayam petelur Suroto (tengah) bersama perwakilan dari Sekretariat Presiden menunjukkan kondisi jagung bantuan dari Presiden Joko Widodo saat penyerahan di Blitar, Jawa Timur, Senin (20/9/2021). Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), menilai, aturan untuk mengimpor jagung perlu dilonggarkan untuk menjaga kestabilan harga pakan.

EKBIS.CO,  JAKARTA -- Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), menilai, aturan untuk mengimpor jagung perlu dilonggarkan untuk menjaga kestabilan harga pakan. Ini juga menjawab keluhan-keluhan para peternak unggas mandiri yang banyak dilontarkan terkait tingginya harga jagung pakan.

“Pemerintah perlu mengevaluasi beberapa hal dalam tata niaga jagung, seperti membuka impor jagung pakan di Indonesia melalui revisi Permendag Nomor 21 Tahun 2018 yang hanya memberikan hak mengimpor jagung untuk kebutuhan pakan kepada Bulog,” kata Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Aditya Alta, Selasa (21/9).

Baca Juga

Relaksasi impor jagung pakan ternak akan dapat menghindari persaingan tinggi antara semua pengguna komoditas tersebut, mulai dari peternak rakyat hingga perusahaan pengolahan besar, untuk  mendapatkan jagung dari pasar domestik.

Penelitian CIPS menunjukkan, produsen ayam saat ini harus membayar dua kali lipat untuk jagung yang menjadi komponen pakan ternak mereka. Biaya tambahan ini terefleksi pada harga pasar ayam dan telur sehingga dapat membatasi konsumsi domestik dan perluasan industri.

Karena ayam merupakan sumber protein utama di Indonesia, harga yang tinggi tentu akan mempersulit masyarakat berpenghasilan rendah. Pembebasan impor jagung memungkinkan  produksi komoditas yang lebih efisien.

Indonesia yang  kurang memiliki keunggulan komparatif dalam produksi jagung, dapat mengimpornya dengan harga lebih rendah. Hal ini akan menurunkan biaya produksi ayam sehingga menguntungkan tidak hanya pihak produsen ayam tetapi juga konsumen, terutama yang berpenghasilan rendah, dengan akses kepada ayam dan telur yang lebih murah.

Menghapuskan proteksi perdagangan untuk jagung juga memungkinkan Indonesia memodernisasi industri ayam dan menjadikannya lebih efisien dan mungkin mengembangkan keunggulan komparatifnya di masa depan.  

Agar bermanfaat bagi sektor perunggasan, penghapusan intervensi pemerintah dalam perdagangan, termasuk dalam bidang pakan ternak, juga harus dibarengi dengan dukungan pemerintah di sektor infrastruktur. Transportasi adalah elemen penting dalam biaya produksi ayam dan telur.

“Pemerintah harus berinvestasi untuk meningkatkan akses jalan raya, dengan fokus untuk menghubungkan pelabuhan dengan area pertanian terdekat. Hal ini secara langsung dapat menguntungkan proses produksi yang memungkinkan penurunan biaya transportasi,” jelas Aditya.

Infrastruktur transportasi yang lebih baik juga memungkinkan pergerakan alat berat yang dapat membantu peternakan unggas menjadi lebih modern dan meningkatkan efisiensi produksi.

Lebih jauh, pemerintah sebaiknya tidak bergantung pada kebijakan pengaturan harga seperti penentuan harga acuan, karena pengalaman selama ini menunjukkan susah menegakkan kebijakan demikian.

Penggunaan subsidi, selain membebani fiskal juga merupakan instrumen yang distortif sementara mematok harga jagung di bawah harga pasar menghalangi petani jagung menikmati harga yang pantas sesuai mekanisme pasar.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement