Rabu 22 Sep 2021 19:06 WIB

Mengenal Manfaat Perdagangan Karbon untuk Indonesia

Pemerintah sedang perancang peraturan terkait nilai ekonomi karbon.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Dwi Murdaningsih
Sejumlah burung bangau bertengger di pohon-pohon bakau di mangrove Pantai Pasir Putih, Desa Sukajaya, Kecamatan Cilamaya Kulon, Karawang, Jawa Barat, Jumat (3/9/2021). Selain sebagai pencegah abrasi pesisir, hutan bakau yang dikelola Kelompok Kerja Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (KKPMP) Karawang dengan dukungan Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE-ONWJ) tersebut juga menjadi habitat bagi ribuan burung bangau dan sejumlah jenis satwa pesisir lainnya.
Foto:

Secara global, diperkirakan bahwa pengurangan GRK hingga 50 persen pada tahun 2050 dapat mengurangi jumlah kematian dini akibat polusi udara sebesar  20-40 persen.

Ketiga, mendukung inovasi teknologi  rendah karbon. Dengan menetapkan NEK, perdagangan karbon dapat mengubah kondisi pasar untuk mendukung proses, produk, dan teknologi produksi rendah karbon. Selain itu juga memberikan insentif bagi perusahaan dan pengusaha yang terlibat dalam kegiatan inovasi.

Sebagai contoh, Kementerian Energi & Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan penambahan kapasitas terpasang PLTS atap pada 2025 dapat mencapai 3,6 gigawatt (GW). Dari kapasitas tersebut potensi penerimaan PLN dari penjualan nilai ekonomi karbon dan tarif layanan khusus energi baru  terbarukan (EBT)  mencapai  Rp 1,54 triliun per tahun.

Faktanya, hampir seluruh kegiatan manusia berkontribusi terhadap kenaikan emisi GRK di atmosfer. Menurut Lamon, perdagangan karbon merupakan sarana pengupayaan praktik rendah karbon secara masif, efektif dan bernilai ekonomi. Secara garis besar, ekonomi hijau merupakan kesinambungan kontribusi dari berbagai skala, mulai dari individu hingga skala yang lebih besar.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement