EKBIS.CO, JAKARTA -- Pandemi Covid-19 telah membawa perubahan pada berbagai sektor, salah satunya adalah ketahanan pangan, yang efeknya sangat dirasakan selama berlangsungnya pandemi itu sendiri. Dibutuhkan adanya evaluasi terhadap berbagai kebijakan terkait ketahanan pangan yang sudah diterapkan selama ini.
“Di awal pandemi, Indonesia juga sedang menghadapi krisis pada beberapa komoditas, seperti bawang putih, bawang bombai, dan gula. Hal ini sebenarnya dikarenakan keterlambatan pengurusan rekomendasi impor. Kebutuhan masyarakat kurang diantisipasi padahal proses pengurusan impor membutuhkan waktu yang tidak sedikit," kata Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta, dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (2/10).
Ia menambahkan, kondisi tersebut diperparah oleh pandemi Covid-19 yang mengakibatkan kepanikan masyarakat dan melonjaknya permintaan serta disrupsi transportasi dan logistik.
Felippa memaparkan, proses penerbitan rekomendasi impor perlu menjadi perhatian penting untuk dievaluasi oleh pemerintah, terutama di saat seperti sekarang ini di mana ketersediaan komoditas pangan menjadi sangat penting untuk menjamin kestabilan harga.
Saat pemerintah terlambat mengantisipasi potensi kenaikan harga dan baru mengeluarkan rekomendasi di saat harga sudah tinggi, masyarakat akan sangat dirugikan. Ia mengatakan, kenaikan harga akibat hambatan impor sungguh disayangkan. Padahal, ketika terjadi bencana seperti pandemi Covid-19, ketahanan pangan menjadi prioritas utama selain kesehatan publik.
Beruntung, pemerintah telah menanggapi krisis ini dengan membebaskan persyaratan Surat Persetujuan Impor (SPI) dan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) untuk bawang putih dan bawang bombay secara temporer, sebagai upaya menstabilkan harga. Relaksasi ini perlu dipertimbangkan untuk diteruskan.
"Krisis pangan ini akan menyadarkan masyarakat bahwa Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Hal ini mempertimbangkan realita pertanian Indonesia yang memiliki berbagai macam tantangan, seperti lahan yang tidak mencukupi, iklim yang tidak tepat untuk menanam beberapa komoditas, dan berbagai macam tantangan pertanian lain," katanya.
Felippa menambahkan, pasca Covid-19 menjadi momentum untuk mengubah paradigma ketahanan pangan Indonesia supaya mengikuti paradigma ketahanan pangan internasional yang dicanangkan Food and Agriculture Organization (FAO). Di mana semua orang, setiap saat, memiliki akses fisik dan ekonomi kepada pangan yang cukup, aman, dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan dan preferensi makanan mereka.
"Impor makanan masih diperlukan untuk memberi akses fisik dan ekonomi bagi semua orang, terutama orang-orang di bawah garis kemiskinan," kata dia.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan adanya kenaikan pada jumlah orang miskin di tahun 2021. Persentase penduduk miskin pada Maret 2021 sebesar 10,14 persen, meningkat 0,36 persen poin dibandingkan Maret 2020. Sementara itu jumlah penduduk miskin pada Maret 2021 sebesar 27,54 juta orang, bertambah sebanyak 1,12 juta orang dibandingkan Maret 2020.
Adapun, garis Kemiskinan pada Maret 2021 tercatat sebesar Rp 472.525 per kapita per bulan dengan komposisi garis kemiskinan makanan sebesar Rp 349.474 (73,96 persen) dan garis kemiskinan bukan makanan sebesar Rp 123.051 (26,04 persen).
Tidak hanya soal pangan, kebijakan terkait perlindungan sosial pun perlu dievaluasi. Selama pandemi Covid-19, terlihat jelas bahwa masyarakat berpenghasilan rendah adalah yang paling rentan terhadap kejutan bencana.
Banyak pekerja dan buruh yang sangat bergantung pada pendapatan dari pekerjaan sehari-hari. Begitu juga dengan tenaga kerja bebas seperti pengemudi ojek online yang mau tidak mau harus tetap beroperasi untuk mencari penghasilan.
“Indonesia perlu menilai kembali struktur kebijakan kesejahteraan sosial. Indonesia sudah memiliki berbagai jenis bantuan sosial untuk masyarakat miskin, seperti contohnya Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH) dan juga Bantuan Program Jaminan Kesehatan Nasional (BPJS) yang terbukti sangat esensial untuk masyarakat Indonesia. Namun ternyata dampak dari program-program ini belum cukup untuk menghindarkan penerimanya dari risiko kehilangan mata pencaharian," katanta.
Pemerintah, menurutnya, juga harus mengkaji kemungkinan untuk mengimplementasikan beberapa kebijakan baru, seperti asuransi tuna karya atau jaminan sosial lain yang siap membantu dalam keadaan bencana. Kebijakan perlindungan yang ada akan bergantung kepada data yang lebih akurat terhadap situasi sosial ekonomi masyarakat Indonesia, sehingga bisa ditargetkan secara tepat.