Senin 08 Nov 2021 18:24 WIB

Sentra Industri Berbasis Energi Bersih di Indonesia

Dunia industri saat ini sangat teliti soal emisi karbon.

Red: Nidia Zuraya
Subholding PNRE merupakan generasi masa depan Pertamina, dan merupakan energi baru bagi Pertamina untuk mewujudkan transisi energi, mendukung ketahanan energi nasional, serta mampu mewujudkan Indonesia yang bersih sesuai dengan komitmen pemerintah dalam Paris Agreement.
Foto:

Khusus untuk mendukung rencana pemerintah dalam membuat industri berbasis energi bersih, Agung merinci saat ini di Jawa Barat saja PLN telah mengoperasikan PLTM Cikaso dengan kapasitas 10 MW. Selain itu, ada PLTM Cikandang dengan kapasitas 6 MW dan PLTM Cibanteng dengan kapasitas 4,4 MW dan PLTM Cibuni Mandiri sebesar 2 MW.

"Kami juga mengoperasikan PLTS terapung terbesar di Asia Tenggara, PLTS Terapung cirata dengan kapasitas 145 MW. Dengan kapasitas terpasang EBT yang ada saat ini mampu memenuhi kebutuhan industri, khususnya Industri yang memang ingin memakai energi berbasis energi hijau," ujar Agung.

Peluang investasi

Peluang investasi EBT di Indonesia cukup terbuka lebar. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengutarakan besarnya potensi bisnis EBT di Indonesia dilihat dari sisi potensi EBT yang belum dioptimalkan. 

"Peluang pertama dan utama tentu saja Indonesia memiliki sumber daya baru dan terbarukan yang melimpah, terutama solar, diikuti oleh hidro, bioenergi, angin, panas bumi, dan lautan, dengan total potensi 648,3 GW, termasuk potensi uranium untuk pembangkit listrik tenaga nuklir. Hingga saat ini, baru 2 persen dari total potensi yang telah dimanfaatkan," kata Arifin.

Di samping itu, Arifin menyoroti harga energi baru dan terbarukan mulai tumbuh kompetitif, khususnya harga Solar PV global yang cenderung menurun. Apalagi didukung dengan pengembangan teknologi baru seperti pumped storage, hidrogen, dan Battery Energy Storage System (BESS) sehingga akan mengoptimalkan pemanfaatan potensi EBT yang melimpah di Indonesia. "Ini bisa bersaing dengan energi fosil," ungkapnya.

Meningkatnya kebutuhan energi, jelas Arifin, mendorong pemerintah untuk terus menyediakan akses energi ke seluruh lapisan masyarakat terutama di wilayah 3T (Terluar, Terdepan, dan Tertinggal) dengan harga terjangkau dan tetap memperhatikan ketersediaan sumber daya energi setempat. Kondisi in sejalan dengan pemenuhan target rasio elektrifikasi 100 persen di tahun 2022 mendatang. 

"Tentu ini menjadi peluang bagi pengembangan EBT karena harga bahan bakar fosil di daerah terpencil bisa begitu mahal, sedangkan sumber EBT tersedia dan dapat dimanfaatkan secara lokal," tegasnya.

Pemerintah sendiri terus memperkuat kerangka peraturan untuk memastikan keberhasilan transisi energi di Indonesia. Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2021-2030 memberikan porsi lebih besar kepada EBT. "Energi terbarukan akan berkontribusi lebih besar dalam penambahan kapasitas pembangkit listrik, di mana 20,9 GW sumber energi terbarukan untuk listrik, atau 51,6 persen dari total kapasitas pembangkit yang akan dibangun hingga tahun 2030," jelas Arifin.

Di samping itu, pemerintah juga menetapkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon, yang mengatur tentang mekanisme perdagangan karbon dan pajak atas karbon. "Salah satu prinsip utama dari kebijakan tersebut adalah mengenakan pajak karbon pada kegiatan yang menghasilkan karbon dan memberi insentif efisiensi-karbon,"ungkap Arifin.

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement