Pemerintah, lanjut Tiko, terus berupaya membawa Garuda keluar dari situasi sulit dengan melakukan lima transformasi bisnis, mulai dari mengoptimalkan rute yang menguntungkan dan meniadakan rute internasional seperti Amsterdam, London, serta Korea Selatan; menurunkan jumlah pesawat Garuda dan Citilink dari 202 pesawat pada 2019 menjadi 134 pesawat pada 2022, dan 188 pesawat pada 2026, serta hanya menggunakan tujuh tipe dari 13 jenis pesawat sebelumnya; dan melakukan negosiasi ulang kontrak sewa pesawat yang akan digunakan ke depan dengan tujuan menyesuaikan biaya sewa pesawat dengan market rates saat ini.
Tiko menambahkan strategi lain dengan meningkatkan kontribusi pendapatan kargo dan meningkatkan kontribusi pendapatan produk tambahan.
"(Pengurangan pesawat) Garuda paling drastis, dari 142 pesawat saat ini tinggal 50-60 pesawat yang beroperasi. Kami dapat komplain pesawat Garuda makin langka karena banyak yang sudah digrounded," ungkapnya.
Tak hanya jumlah pesawat, lanjut Tiko, Garuda juga akan mengurangi rute penerbangan dari 237 rute penerbangan pada 2019 menjadi 140 rute penerbangan pada 2022.
Tiko optimistis operasional Garuda tetap membaik. Tiko menargetkan negosiasi yang sedang berjalan dapat menekan total biaya operasional hingga 80 juta dolar AS pada April 2022. Dengan begitu, Tiko berharap Garuda bisa mendapatkan titik impas pada Mei mendatang dengan kinerja yang kembali positif.
"Ini penting sekali untuk kita mencapai kesepakatan dengan kreditur agar bisa mendapatkan pengurangan utang dan bunga. Pendapatan ini kita asusmiskan tidak ada lagi pengetatan aktivitas sehingga pemulihan pendapatan mencapai 120 juta dolar di akhir 2022 dan 200 juta dolar AS per bulan pada akhir 2023," sambung Tiko.
Dengan demikian, ucap Tiko, Garuda dapat kembali menjadi maskapai yang sehat pada 2023. Oleh karenanya, Tiko meminta manajemen Garuda tetap berfokus pada operasional dan negosiasi.