EKBIS.CO, JAKARTA -- Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menilai perlu adanya insentif fiskal berupa keringanan perpajakan dalam mendukung pembangunan industri tepung telur di Indonesia. Pasalnya, Indonesia belum memiliki sama sekali industri tepung telur sehingga diperlukan upaya lebih untuk menarik minat investor.
Direktur Industri Makanan, Hasil Laut, dan Perikanan, Kemenperin, Supriadi, mengatakan, pihaknya mengusulkan agar industri tepung telur bisa mendapatkan fasilitas tax allowance dan investment allowance karena merupakan investasi baru dan mendukung perluasan industri.
"Kita juga usulkan agar bisa diberikan super tax deduction untuk kegiatan vokasi serta penelitian dan pengembangan," kata Surpiadi dalam webinar, Rabu (10/11).
Selain insentif perpajakan, ia menilai, pelaku industri tepung telur juga perlu mendapatkan pembebasan bea masuk atas impor mesin serta barang dan bahan dalam rangka penanaman modal. Hal itu sesuai aturan dari Kementerian Keuangan di mana pembebasan bea masuk itu diberikan selama dua tahun.
Di sisi lain, terlepas dari insentif perpajakan yang bisa ditawarkan, hal mendasar yang dibutuhkan yakni soal daya saing harga telur itu sendiri. Pasalnya, ia mencatat harga telur di Indonesia masih cenderung tinggi bila dibanding negara-negara lain penghasil tepung telur.
"Investor tertarik kalau harga dan pasokan bahan baku telur terjamin ditambah dengan insentif-insentif," ujar dia.
Harga telur di India, misalnya, yang menjadi produsen telur memiliki tingkat harga telur ayam ras segar yang hanya Rp 12.300 per kg-Rp 12.400 per kg. Sementara di Indonesia, sesuai acuan pemerintah harga telur di tingkat peternak sebesar Rp 19 ribu-Rp 21 ribu per kg.
Sebagai informasi, saat ini kebutuhan tepung telur dalam negeri masih dipenuhi dari pasokan impor. Pada 2020 lalu, total impor tepung telur sebanyak 2.132 ton. Impor terbesar berasal dari India sebanyak 1.376 ton. Kemudian di susul Ukraina 592 ton, Italia 128 ton, Denmark 18.000 ton, AS 8.831 ton, dan Belgia 8.200 ton.