Rabu 24 Nov 2021 02:31 WIB

Ancaman Taper Tantrum Mengintai Indonesia

Saat ini ekonomi Indonesia baru mulai bangkit selepas hantaman varian delta.

Rep: Novita Intan/ Red: Nidia Zuraya
 Logo Bank  Indonesia, Bank Indonesia
Foto: Reuters/ Iqro Rinaldi
Logo Bank Indonesia, Bank Indonesia

EKBIS.CO,  JAKARTA -- Pemerintah menyebut kenaikan suku bunga acuan negara maju memicu aliran dana keluar dari negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini sudah pernah terjadi pada 2013 lalu saat Amerika Serikat mengambil langkah pengetatan dan membuat pasar keuangan Indonesia mengalami taper tantrum.

Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai risiko taper tantrum mungkin terjadi karena situasi tahun ini jauh lebih kompleks dibanding 2013 lalu. “Saat ini selain hadapi normalisasi kebijakan moneter juga menghadapi krisis energi, inflasi yang lebih tinggi, krisis properti di China, logistik yang terganggu, risiko gelombang ketiga Covid-19 dan pemulihan ekonomi yang tidak merata,” ujar Direktur Celios Bhima Yudhistira kepada Republika.co.id, Selasa (23/11).

Baca Juga

Bhima menyebut ketidakpastian juga cukup tinggi karena yang dikhawatirkan dengan inflasi AS jauh lebih tinggi dari ekspektasi maka tapering off disertai naiknya suku bunga acuan. “Jika kombinasi tapering off dan kenaikan Fed rate terjadi bersamaan maka imbas ke negara berkembang akan membahayakan,” ucapnya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai pengetatan moneter yang dilakukan sejumlah negara maju patut diwaspadai Indonesia."Ini (pengetatan moneter) berakibat pada capital outflow dan tekanan ke nilai tukar," ujarnya saat acara webinar Kongres Asosiasi Auditor Intern Pemerintah Indonesia (AAIPI) 2021, Selasa (23/11).

Menurutnya saat ini Indonesia berada jalur pemulihan atau baru mulai bangkit selepas hantaman varian delta pada Juli 2021. Adapun mobilitas mulai meningkat mendorong peningkatan konsumsi masyarakat serta produksi yang ditandai dengan lonjakan pada PMI manufaktur Indonesia.

"Recovery dan rebound sudah terjadi di Oktober dan November," ucapnya.

Hanya saja, Sri Mulyani menyebut, jika gejolak yang ditimbulkan oleh negara maju tersebut begitu besar, pemulihan ekonomi Indonesia akan terganggu. Pemerintah masih membutuhkan banyak dana yang cuma mampu dipenuhi oleh utang.

Situasi ini yang menurut Sri Mulyani sebagai konsekuensi atas ketidaksiapan pemulihan ekonomi. "Pemulihan yang terjadi namun tidak tanpa konsekuensi. Pemulihan cepat yang tidak diikuti supply akan menghasilkan kenaikan harga-harga, ini terjadi di AS," ucapnya.

Lebih lanjut Bhima menuturkan, ada beberapa langkah taktis yang perlu dipersiapkan otoritas salah satunya dengan mendorong devisa hasil ekspor (DHE) lebih besar dikonversi ke rupiah dan masuk ke rekening bank dalam negeri. Perusahaan yang mendapatkan windfall kenaikan harga batu bara, dan CPO sebaiknya didorong percepat konversi DHE nya untuk menambah suplai valas. 

“Berikutnya adalah meningkatkan laju investasi langsung (FDI) ke sektor sektor usaha yang produktif seperti industri manufaktur, konstruksi dan pertanian. Semakin besar porsi FDI nya maka daya tahan fundamental ekonomi jauh lebih baik,” ucapnya.

“BI juga perlu lakukan pengawasan ekstra terhadap risiko gagal bayar utang luar negeri (ULN) swasta, terlebih utang valas yang belum dilakukan hedging atau lindung nilai,” ucapnya. 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement