EKBIS.CO, BOGOR – Sektor pertanian saat ini dihadapkan dengan berbagai tantangan. Sumber daya lahan dan air yang semakin terbatas, fenomena perubahan iklim yang menyebabkan peningkatan suhu, munculnya iklim ekstrem serta terjadinya pergeseran pola musim dan curah hujan telah menjadi ancaman bagi upaya peningkatan produksi pertanian.
Untuk itu, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (Mentan SYL) terus mendorong inovasi pertanian yang mampu beradaptasi dengan perubahan iklim. Menurutnya, Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) harus bisa membaca perubahan iklim dan beradaptasi dengannya. Bentuk adaptasi itu ditunjukkan dengan menghasilkan varietas benih unggul yang adaptif terhadap perubahan iklim.
“Kita harus terus mendorong inovasi untuk beradaptasi dengan perubahan iklim. Seperti bagaimana menghasilkan varietas yang tahan kering sampai tahan rendam, ataupun varietas yang bisa ditanam di lahan kering atau lahan rawa,” ungkap SYL saat hadir dalam pengukuhan Fadjry Djufry sebagai Profesor Riset Kementerian Pertanian di Bogor, Selasa (25/01/2022).
SYL pun menghargai ide dan pemikiran yang disampaikan Fadjry pada orasinya yang mengangkat tema 'Pertanian Cerdas Iklim Inovatif Berbasis Teknologi Budidaya Adaptif Menuju Pertanian Modern Berkelanjutan'. “Saya yakin pemikiran Prof. Fadjry pada orasi ini adalah akumulasi kegelisahan kita semua. Tanpa ada riset dan teknologi, di saat anomali iklim semakin tidak terprediksi, bisa hancur kita. Ini adalah kesempatan semua pejabat dan politisi untuk berbicara dan berpikir mengenai dampak perubahan iklim,” ujarnya.
SYL pun berharap peran profesor riset di Balitbangtan bisa ikut memperkuat makna penelitian bagi sektor pertanian. “Kita perlu menyadari bahwa riset itu penting untuk keberlangsungan sektor pertanian. Apalagi pertanian hingga saat ini telah membuktikan bisa berkontribusi secara pasti bagi bangsa dan negara,” jelas SYL.
Fadjry pun pada orasinya memaparkan tentang pertanian cerdas iklim inovatif yang berbasis teknologi budidaya adaptif. Ia menawarkan konsep Pertanian Cerdas Iklim Inovatif (PCII) yang merupakan pengembangan dari Climate Smart Agriculture yang dicetuskan FAO pada tahun 2013 sebagai solusi yang bisa digunakan dalam menghadapi perubahan iklim.
“PCII disesuaikan dengan tantangan riil kondisi pertanian Indonesia saat ini, perkiraan keadaan ke depan, serta diperkaya dengan berbagai inovasi teknologi budidaya hasil penelitian di berbagai lokasi dan agroekosistem Indonesia, dan didukung Sistem Informasi Iklim dan Tanaman (SICIT)” jelasnya.
Profesor Riset Kementerian Pertanian ke-159 ini juga merekomendasikan agar konsep Riset dan Pengembangan Inovatif dan Kolaboratif (RPIK) yang telah dikembangkan Balitbangtan sejak 2020 dapat dijadikan pembuka jalan untuk mempercepat hilirisasi penerapan PCII. “Konsep PCII pada dasarnya juga sangat relevan dengan beberapa program strategis Kementerian Pertanian, terutama program Food Estate pada lahan rawa dan lahan kering, serta lahan kering beriklim kering,” lanjut Fadjry.
Dalam konteks kebijakan, Fadjry menjelaskan bahwa model PCII dapat diposisikan sebagai konsep atau sekaligus strategi dalam menghadapi perubahan iklim dan tantangan pembangunan pertanian lainnya. Selain itu, PCII dapat memperkuat berbagai program strategis Kementerian Pertanian yang relevan seperti food estate, ketahanan pangan, termasuk komitmen internasional dalam menghadapi perubahan iklim.
“Diperlukan penguatan kelembagaan dan korporasi petani, serta kerja sama antara Kementan dengan berbagai lembaga penelitian serta perguruan tinggi untuk mengembangkan dan menerapkan PCII,” ungkapnya.