EKBIS.CO, JAKARTA -- Harga minyak dunia terus mengalami kenaikan sejak kuartal tiga tahun 2021 kemarin hingga akhirnya menyentuh angka 94 dolar AS per Barel pada Senin (7/2). Sedangkan acuan harga minyak di APBN hanya dipatok 63 dolar AS per barel.
Kondisi kenaikan harga minyak ini memang dari sisi bisnis hulu minyak mengalami keuntungan. Pemerintah bisa meraup PNBP Migas yang cukup tinggi. Hanya saja, penerimaan di hulu ini tidak akan menutup beban APBN untuk menutup kerugian di hilir.
"Secara garis besar windfall profit kita gak akan mengejar kerugian di sektor hilir ya. Hulu memang akan mendapatkan keuntungan, tetapi hal ini juga akan berdampak terhadap subsidi energi yang mesti dikeluarkan oleh pemerintah," ujar Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan kepada Republika, Senin (7/2).
Persoalannya, saat ini APBN masih dibebani subsidi baik listrik dan elpiji. Dimana dari sektor kelistrikan saja saat ini 1 persennya masih bergantung pada BBM. Sedangkan acuan elpiji yaitu CP Aramco juga terus melejit berbarengan dengan kenaikan harga minyak dunia.
Disatu sisi, meski penjualan BBM ke masyarakat tidak masuk dalam kategori subsidi, namun setiap tahunnya pemerintah melalui APBN terus menganggarkan uang untuk memberikan kompensasi ke Pertamina yang menjual BBM jenis Premium.
"Dengan porsi saat ini impor minyak mentah saja 800 sampai 900 ribu barel per hari, ini akan menambah CAD yang makin defisit," ujar Mamit.
Kementerian ESDM juga mencatat, kenaikan harga minyak dunia berdampak langsung terhadap acuan Indonesian Crude Price (ICP). rerata ICP sepanjang Januari kemarin melesat ke angka 85,89 dolar AS per barel. Angka ini melesat 12,53 dolar AS per barel dari rerata ICP Desember sebesar 73,36 dolar AS per barel.
Kepala Biro Klik Kementerian ESDM Agung Pribadi menjelaskan kenaikan ICP ini tak lain karena kondisi harga minyak mentah di dunia juga sedang tinggi. Naiknya harga minyak dunia ini didorong situasi perang dingin antara Ukraina dan Rusia.
"Kazakhstan sebagai salah satu negara OPEC+ dengan produksi 1,6 juta barel per hari, mengalami kendala logistik yang berpotensi menyebabkan penurunan produksi pasca demonstrasi yang dipicu kenaikan harga bahan bakar," ujar Agung, Senin (7/2).
Libya saat ini hanya memproduksikan minyak mentah pada kisaran 700 ribu barel per hari dari potensi produksi kurang lebih 1,2 juta barel per hari. Negara tersebut mengalami penurunan produksi minyak terendah dalam 14 bulan terakhir akibat blokade di lapangan minyak utama area barat dan disertai perbaikan pipa yang menghubungkan Lapangan Samrah dan Dahra ke terminal Es Sider (kapasitas 350 ribu barel per hari).
Uni Emirat Arab (UEA), negara produsen minyak OPEC tertinggi ketiga, mengalami serangan drone dan misil yang mematikan dari pemberontak Yemeni Houthi di depot bahan bakar Mussafah, ADNOC dan bandara internasional UEA.
Kondisi ini tentu berdampak pada Pertamina. Reforminer Institute dalam laporannya menyebutkan PT Pertamina (Persero) berpotensi merugi hingga Rp 97 triliun dalam penjualan BBM non subsidi sepanjang tahun 2021.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro dalam laporannya menjelaskan dalam menjual BBM RON 90 atau Pertalite pertamina berpotensi merugi Rp 37 triliun hingga Rp 97 triliun.
Hal ini dikarenakan harga minyak dunia yang berada diatas ambang yang ditetapkan APBN. Pada Desember 2020, harga minyak duia mencapai 48,35 dolar AS per barel. Pada Desember 2021, harga minyak dunia bahkan melambung sampai 75,33 dolar AS per barel.
"Bahkan kenaikan harga minyak dunia berlangsung terus sampai awal tahun 2022 ini," ujar Komaidi.
Pertamina membanderol harga jual Pertalite sebesar Rp 7.650 per liter. Padahal, saat ini harga keekonomian Pertalite mecapai Rp 10.650.
"Dibandingkan badan usaha lain yang menjual RON 90 lainnya dibanderol Rp 9.500 per liter. Potensi kerugian ini dihitung dari perbandingan nilai penjualan dengan badan usaha lain," ujar Komaidi.
Tak hanya Pertalite, dalam menjual RON 92 atau Pertamax, Pertamina juga menelan kerugian. Tercatat, saat ini RON 92 dibanderol oleh Pertamina sebesar Rp 9.000 per liter.
"Padahal, badan usaha lain saat ini membanderol RON 92 sebesar Rp 11.900 hingga Rp 13.000 per liter," ujar Komaidi.