EKBIS.CO, JAKARTA -- Pasar obligasi disebut akan kembali diuji ketahanannya pada tahun 2022. Meskipun sudah mencatatkan return hampir 30 persen di tahun 2019 dan 2020, pasar obligasi masih memberikan kinerja yang positif di tahun 2021 di tengah gejolak tapering the Fed, munculnya varian Covid baru, serta terjadinya kenaikan inflasi.
Head of Fixed Income Research Mandiri Sekuritas Handy Yunianto mengatakan, di awal tahun ini, pasar modal akan diwarnai tiga risiko besar yakni normalisasi suku bunga oleh the Fed, ekspektasi outlook pelemahan ekonomi di China, dan perkembangan varian baru Covid-19. Ketiga risiko ini dapat memicu naiknya yield obligasi.
"Diperkirakan ada potensi kenaikan yield SBN tahun ini. Namun kami melihat ini merupakan peluang bagi investor untuk mendapatkan entry level yang lebih bagus," kata Handy, Rabu (23/2/2022).
Jika Indonesia bisa terus memperbaiki kondisi eksternal, menjaga neraca pembayaran tetap positif dan inflasi tetap terkendali, Handy memperkirakan dalam jangka panjang arah yield SBN untuk turun lebih rendah lagi di bawah 6 persen akan sangat terbuka.
Risiko yang bisa menyebabkan yield obligasi lebih tinggi dari perkiraan adalah jika the Fed melaukan kenaikan suku bunga lebih agresif dari perkiraan. Selain itu, yield obligasi akan lebih tinggi dari perkiraan jika terjadi kenaikan kasus Covid yang bisa memicu gangguang distribusi dan berpotensi terjadinya risiko stagflasi atau inflasi tinggi namun ekonomi melambat.
Di masa stagflasi, kinerja pasar modal baik itu obligasi ataupun saham biasanya akan turun. Salah satu yang masih bisa naik adalah komoditas seperti emas. Dengan masih tingginya volaitlitas, menurut Handy, diversifikasi investasi harus dilakukan untuk meminimalkan risiko.
Meski demikian, Handy melihat ada beberapa perkembangan positif di pasar obligasi setelah pandemi ini. Menurutnya, setelah pandemi ketergantungan asing semakin berkurang dimana porsi asing di pasar obligasi terus turun dibawah 20 persen dari posisi tertinggi sempat di atas 40 persen.
"Selain itu, saat ini investor asing yang berinvestasi di obligasi juga lebih long term investors, tercermin dari porsi bank sentral asing di pasar obligasi Indonesia meningkat menjadi 26 persen dari sebelumnya hanya 17 persen," terang Handy.
Di sisi lain, dukungan dari investor domestik terus meningkat dan semakin beragam, terutama permintaan dari institusi nonbank ataupun dari retail. Hal ini juga didukung oleh adanya penurunan pajak bunga obligasi dari tadinya 15 persen menjadi 10 persen.
Selain itu, likuiditas melimpah tercermin dari LDR yang terus turun, mendorong permintaan obligasi oleh investor lokal terus meningkat. Ditambah, secara valuasi bond yield Indonesia juga memberikan real yield yang paling tinggi dibandingkan negara-negara berkembang lainnya.