EKBIS.CO, JAKARTA-- Saat ini pemerintah sedang membutuhkan dana besar untuk membiayai pembangunan, salah satu cara yang paling mudah dan sederhana memperoleh dana melalui menaikan cukai rokok. Sepanjang 2021, kenaikan cukai rokok sebesar 12,5 persen.
Sosiolog Universitas Airlangga Umar Solahudin mengatakan kebijakan pemerintah menaikan cukai rokok tidak akan membuat masyarakat berhenti merokok.
“Masyarakat tetap akan merokok, tetapi kalau rokoknya mahal karena cukai rokoknya dinaikan, maka masyarakat akan beralih ke rokok lintingan atau rokok ilegal,” ujarnya kepada wartawan, Jumat (25/2/2022).
Menurutnya kebijakan pemerintah menaikan cukai rokok hanya menguntungkan pemerintah. Tak ada kaitannya dengan upaya menghentikan masyarakat merokok.
“Karena itu pemerintah harus bersikap adil. Jika pemerintah sudah mengambil keuntungan dari menaikan cukai rokok, maka pemerintah seharusnya meningkatkan anggaran bagi perawatan kesehatan masyarakat yang merokok,” ucapnya.
Dia mengaku tidak setuju dengan kebijakan pemerintah menaikan cukai rokok. Alasannya, selain tidak berpengaruh positif penurunan jumlah masyarakat merokok dan mematikan kesempatan kerja bagi buruh industri rokok maupun petani tembakau.
“Kecuali kalau pemerintah sudah siap dengan lapangan pekerjaan pengganti bagi jutaan tenaga kerja sektor industri rokok dan mata pencaharian pengganti bagi petani tembakau. Dan tentu saja mencari pengganti lapangan pekerjaan dan mata pencaharian bagi petani tembakau itu bukan hal yang mudah,” ucapnya.
Sementara itu Wakil Ketua Umum Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia ( Formasi) Ahmad Guntur menambahkan pemerintah menaikan cukai rokok sebesar 12,5 persen terlalu besar.
“Sekiranya pemerintah membutuhkan dana dari cukai rokok. Kenaikannya idealnya tidak lebih dari delapan persen,” ucapnya.
Dosen Universitas Negeri Jember Fendy Setyawan menambahkan mengalihkan mata pencaharian dari pertanian atau perkebunan tembakau ke sektor lain, bukan pilihan yang mudah bagi kalangan petani tembakau. Alasannya tidak semua lahan itu cocok untuk selain tembakau yang memiliki nilai ekonomi.
“Secara obyektif dari kaca mata akademisi sangat memahami sebuah kebutuhan pembiayaan di dalam pembangunan nasional ini dan cukai, salah satu sumber pembiayaan yang dinilai sangat strategis oleh pemerintah. Jadi pemerintah melakukan pendekatan dua aspek dalam konteks kenaikan cukai ini, aspek yang pertama sebagai instrumen pengendalian, aspek kedua untuk meningkatkan pendapatan negara,” ucapnya.
Meskipun kenaikan cukai menguntungkan pemerintah, karena mendapatkan tambahan dana untuk membiayai pembangunan, menurut Fendy Setyawan, kenaikan cukai rokok sebesar 12,5 persen justru menurunkan pendapatan masyarakat petani tembakau termasuk buruh rokok.
“Implikasi dari adanya kenaikan cukai rokok ini justru akan menurunkan tingkat pendapatan masyarakat tembakau terutama sektor petani,” ucapnya.
Maka itu, Fendy menyebut pemerintah perlu membuat road map atau peta jalan industri rokok nasional. Adapun road map dibuat bersama antara pemerintah dengan pelaku industri rokok, petani tembakau dan tenaga Kesehatan.
Fendy mengungkapkan adanya roadmap, akan terpampang lebih jelas masa depan industri hasil tembakau nasional ke depan seperti apa. Hal ini sekaligus upaya yang diperlukan pemerintah, agar muncul kesadaran dari dalam diri masyarakat sendiri untuk mengurangi konsumsi rokok.
“Jadi dalam roadmap IHT nanti, selain tertera secara jelas, berapa persen kenaikan cukai rokok dari tahun ke tahun, juga masa depan IHT mau diapakan? Yang tidak kalah pentingnya, pemerintah juga memiliki agenda yang jelas bagaimana membangkitkan kesadaran masyarakat dalam mengurangi konsumsi rokok,” ucapnya.