Kenaikan tersebut juga muncul akibat stok gandum yang tertahan di pelabuhan lantaran ketegangan di beberapa kawasan jalur distribusi. “Tinggal cari, kita punya komoditas ekspor apa dengan Rusia dan Ukraina. Akan langsung ketemu komoditas ekspor mana saja yang kemungkinan akan terganggu,” kata dia.
Sementara itu, lanjut Citra, kenaikan harga barang juga beriringan dengan laju inflasi. Termasuk Indonesia, Citra menyebut uang berlebih yang dikeluarkan untuk mendapat komoditas ekspor dari Rusia atau Ukraina akan memicu inflasi.
“Indonesia kan masih sangat tergantung dengan impor. Apalagi, kita juga masih berusaha bangkit dari pandemi,” ujarnya.
Citra menerangkan, konflik Rusia-Ukraina awalnya tidak diprediksi akan berlangsung lama. Namun, konflik itu nyatanya telah memasuki minggu kedua dan akhirnya berdampak besar pada iklim investasi global.
“Konflik ini memicu kegelisahan karena boikot yang dilakukan berbagai negara. Akhirnya investor akan berinvestasi pada hal-hal yang pasti, seperti emas,” ujarnya.
Emas, kata dia, menjadi instrumen yang menjaga nilai uang. Karena itu, tidak mengherankan jika belakangan banyak orang berburu emas hingga menaikkan harga emas secara global.
Citra menekankan beberapa langkah yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia untuk mengatasi dampak ekonomi akibat konflik Rusia-Ukraina. Menurutnya, pemerintah harus memperbanyak variasi supply dan melakukan shifting pada komoditas ekspor dari dua negara tersebut.
Untuk impor gandum, Citra menyarankan beberapa negara alternatif seperti Kanada, Amerika Serikat, Pakistan, atau Bangladesh. “Intinya mencari alternatif. Lalu, cari juga mitra lain yang butuh barang kita. Termasuk mencari alternatif atau mengganti tempat investasi FDI (foreign direct investment)” kata dia.