Jumat 08 Apr 2022 09:57 WIB

Belajar dari Krisis di Sri Lanka

Sri Lanka sedang menghadapi krisis keuangan terburuk dalam beberapa dekade.

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Nidia Zuraya
Warga Sri Lanka mengantre untuk membeli minyak tanah di sebuah pompa bahan bakar di Kolombo, Sri Lanka, Jumat, 25 Maret 2022.
Foto:

Industri runtuh selama pandemi

Truk kontainer yang meninggalkan pelabuhan dengan barang-barang penting untuk diangkut ke seluruh negeri juga menunggu dalam antrean sepanjang kilometer selama berhari-hari. Ini jelas memperburuk keadaan.

Sektor pariwisata Sri Lanka yang menjadi penopang utama ekonomi Sri Lanka juga merosot tajam. Sejumlah titik wisata yang dulu ramai dengan turis dari Eropa dan Timur Tengah sekarang sepi.

Seorang pemilik hotel, Nelaka Gunarathne membuka hotelnya yang memiliki 30 kamar untuk tamu akhir tahun lalu setelah absen selama tiga tahun. Setelah enam bulan menjalani bisnis yang bagus, ia kembali dihadapkan pada lobi-lobi yang sunyi dan kamar-kamar kosong.

Pemadaman listrik dan kekurangan kebutuhan pokok telah memukul harapan pemulihan, bahkan untuk sektor pariwisata yang sangat penting bagi perekonomian Sri Lanka. Industri runtuh selama pandemi, yang merupakan alasan utama menipisnya cadangan devisa negara.

Sebagian besar perusahaan menengah dan kecil tidak memiliki generator untuk listrik cadangan. Sri Lanka sebelumnya tidak pernah mengalami pemadaman listrik besar-besaran di masa lalu.

Ketika berusaha untuk menahan mata uang asing di dalam negeri, pemerintah Sri Lanka menerapkan pembatasan impor pada barang-barang tertentu. Hal itu menyebabkan kelangkaan dan kenaikan harga bahan makanan pokok secara tiba-tiba termasuk susu bubuk dan beras.

Inflasi utama telah meningkat menjadi lebih dari 17 persen dalam beberapa minggu terakhir, sementara inflasi makanan di atas 20 persen. Bahkan dengan isi ulang gas memasak yang tidak pasti, restoran tutup dan hotel mengatakan mempertahankan tamu adalah sebuah tantangan.

Gunarathne mengatakan 80 persen dari pemesanannya dibatalkan antara Maret dan April. "Tamu telah menelepon untuk menanyakan apakah jam malam akan berlanjut atau akankah mereka mendapatkan makanan? Kami benar-benar tidak memiliki jawaban untuk apa pun," katanya.

Hotelnya sendiri berjuang untuk membeli kebutuhan dasar sehingga tidak bisa berjanji kepada tamu. Sri Lanka menjadi tujuan wisata populer karena pantainya yang masih asli dan budaya lokalnya yang kaya.

Tapi sekarang, berbagai aksi protes dan demo di jalanan membayangi citranya sebagai tempat yang aman untuk berlibur. Departemen Luar Negeri AS telah meningkatkan tingkat ancamannya dan mengeluarkan peringatan perjalanan tingkat tiga bagi warga negara Amerika untuk tidak melakukan perjalanan ke Sri Lanka.

Maskapai terbesar India Air India telah mengurangi jumlah penerbangan ke Sri Lanka karena permintaan yang lebih rendah. Apa yang dibutuhkan Sri Lanka sekarang adalah stabilitas ekonomi dan politik untuk memungkinkan pabriknya berjalan dengan lancar dan untuk membawa wisatawan kembali ke pantainya.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement